The star in my heart

116 8 0
                                    

Sudah beberapa bulan aku memperhatikan Eriska semakin kurus dan terlihat lemah. Di lapangan, performanya tidak seperti dulu. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi padanya. Setelah ia pingsan di gymnasium, Eriska mulai sering absen dari sekolah dan latihan. Ketika kutanya, ia hanya tersenyum lemah, tapi tidak pernah menjelaskan apa pun

Aku ingin membantunya, ingin dia terbuka padaku. Namun, setiap kali kutanya lebih jauh, dia hanya berkata bahwa semuanya baik-baik saja. Bagiku, sulit untuk percaya itu, terutama setelah melihat bagaimana kondisi fisiknya semakin memburuk dari hari ke hari

Suatu siang di kantin, aku memutuskan untuk bertanya pada Regina dan Lisa. Mereka duduk di depanku, masing-masing menikmati makan siang mereka, sementara pikiranku dipenuhi oleh kekhawatiran tentang Eriska

"Reg, Lis," kataku memulai, suaraku agak pelan, "Lo berdua tau nggak apa yang terjadi sama Eris belakangan ini? Dia kayak makin nggak enak dilihat, sering izin juga."

Regina meletakkan sendoknya dan menatapku serius. "Gue juga mikir gitu, Bay. Dia kelihatan capek terus, kayak yang nggak semangat. Tapi... dia nggak pernah cerita apa-apa ke gue," jawabnya dengan nada prihatin

Lisa mengangguk. "Iya, gue juga nggak tahu, Bay. Setiap gue tanya, dia cuma senyum doang, bilang kalo dia cuma lagi kecapean."

Aku menghela napas panjang. "Gue udah coba nanya beberapa kali, tapi dia selalu ngelak. Nggak mungkin cuma kecapean doang, kan?"

Regina menatapku penuh rasa simpati. "Mungkin dia lagi ada masalah pribadi, Bay. Tapi kalau dia nggak mau cerita, kita juga nggak bisa maksa."

Aku hanya bisa diam, memikirkan betapa misteriusnya keadaan Eriska sekarang

***

Setelah jam pelajaran berakhir, aku langsung menuju gymnasium. Dari kejauhan, aku melihat sosok Eriska di sana, berdiri di tepi lapangan dengan bola basket di tangannya. Senyum perlahan muncul di wajahku. Akhirnya, dia datang. Walaupun terlihat sedikit pucat, setidaknya dia ada di sini, di lapangan yang biasa dia dominasi dengan permainan apiknya

Aku berjalan mendekatinya, masih dengan senyum di wajah. "Eris," panggilku, setengah khawatir, setengah lega. "Akhirnya lo muncul juga."

Eriska menoleh, senyum tipis terulas di bibirnya. "Iya, gue coba balik latihan hari ini," jawabnya dengan nada pelan, seolah berusaha menyembunyikan sesuatu di balik kata-katanya

Aku menatapnya lekat-lekat, memastikan kondisinya. "Lo oke kan? Lo kelihatan sedikit pucat," kataku, masih menyimpan rasa khawatir

Eriska mengangguk cepat, terlalu cepat menurutku. "Gue nggak apa-apa, Bay. Beneran, cuma... ya, masih butuh adaptasi dikit."

Aku menghela napas, menatapnya dengan serius. "Gue tahu ada sesuatu, Eris. Kalau lo butuh apa-apa, lo tahu kan gue selalu ada buat lo?"

Dia tersenyum, tapi senyumnya tidak sepenuhnya tulus. "Iya, gue tahu kok. Makasih, Bay."

Latihan dimulai seperti biasa. Aku dan tim bergerak dengan ritme yang sudah familiar, mengikuti gerakan Eriska yang memimpin seperti biasanya, walaupun terlihat sedikit lebih pelan dari biasanya. Semua tampak normal di luar, tapi di dalam, aku masih merasa ada sesuatu yang salah. Eriska sesekali terhenti, mengusap peluh di dahinya dengan tangan gemetar, namun dia tetap melanjutkan latihan

Setelah latihan selesai, Eriska berdiri di tengah lapangan. Napasnya terdengar berat, tapi ekspresinya serius

"Guys," panggilnya, suaranya terdengar tenang namun penuh beban. Kami semua, termasuk aku, menghentikan aktivitas dan berkumpul mengelilinginya

Remember meTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang