Ketika diskusi kelompok berlangsung di sebuah ruang belajar kecil, Eriska, Dion, Hanni, Tessa, dan Juna duduk melingkar dengan beberapa lembaran tugas yang tersebar di atas meja. Mereka sedang mendiskusikan tugas yang mengharuskan mereka mencari profil gedung perkantoran untuk dianalisis.
"Jadi, kita butuh profil gedung perkantoran yang lumayan besar dan punya data lengkap, ya," kata Dion sambil menggulung lengan bajunya. "Gue bisa coba cari beberapa di internet, tapi biasanya informasinya nggak terlalu detail."
Tessa menatap laptopnya dengan ragu. "Iya, gue juga nemu beberapa, tapi kayaknya masih kurang pas deh buat tugas ini."
Hanni tiba-tiba melirik ke arah Eriska, dengan ekspresi berpikir. "Eh, Eris... kalau nggak salah kakak lo kerja di dunia bisnis, kan? Kayaknya dia pasti punya koneksi ke gedung perkantoran gede deh. Bisa kali kita minta bantuan dari dia?"
Mendengar itu, Eriska terdiam sejenak, gugup. Hatinya berdebar cepat karena tidak mungkin dia bisa mengungkapkan identitas Rendra begitu saja. Hanni dan yang lainnya tentu tidak tahu kalau 'kakak' yang mereka maksud sebenarnya adalah suaminya, Narendra Adhiguna, seorang direktur besar yang punya banyak jaringan di dunia perkantoran. Namun, Eriska tidak bisa langsung menolak tanpa alasan yang jelas.
Juna, yang sedari tadi lebih banyak diam, ikut menoleh ke arah Eriska dengan ekspresi penasaran. "Iya, bener tuh. Kalo kakak lo bisa bantu, tugas ini bisa kelar lebih cepat."
Dengan terpaksa, Eriska tersenyum kaku dan mengangguk pelan. "I-iya, gue bisa coba tanya kakak gue... Mungkin dia punya kenalan yang bisa ngasih data yang kita butuhin."
"Wah, mantap banget kalo gitu!" seru Dion bersemangat. "Lo coba kontak dia ya, Eris. Kayaknya ini solusi tercepat kita."
Tessa menambahkan, "Ya, kita tinggal tunggu kabar dari lo aja. Kalau emang bisa, itu bakal ngebantu banget."
Eriska mengangguk, meskipun dalam hatinya ada kegelisahan yang tak bisa ia sembunyikan. "Iya, gue coba tanya nanti," jawabnya, berharap bisa mengelak dari terlalu banyak pertanyaan.
Di tengah diskusi, Eriska merasakan beban semakin berat di pundaknya. Bagaimana ia harus meminta bantuan Rendra tanpa menimbulkan kecurigaan dari teman-temannya? Terlebih, ia harus memastikan tidak ada yang menyadari bahwa 'kakak' yang mereka sebut adalah suaminya sendiri.
***
Setelah seharian beraktivitas di kampus, Eriska pulang ke rumah dengan perasaan campur aduk. Dia duduk di meja makan, memandangi makanan yang sudah disiapkan oleh Rendra. Suasana di rumah terasa hangat dan nyaman, tetapi di dalam hati Eriska, ada keraguan yang terus mengganggu pikirannya.
Rendra masuk ke dapur, melihat Eriska yang tampak berpikir dalam diam. Dia mendekati Eriska dan bertanya, "Ada apa, sayang? Sepertinya kamu terlihat berat pikiran."
Eriska menghela napas panjang, lalu menjawab, "Aku baru saja dapat tugas kelompok di kampus. Kami butuh mencari profil gedung perkantoran dan... aku berpikir untuk meminta bantuan Mas, tapi aku ragu."
Rendra tersenyum lebar. "Tentu saja, jika kamu butuh bantuan, Mas dengan senang hati akan membantu. Apa yang harus Mas lakukan?"
Eriska menggigit bibirnya, merasa ragu. Dia tahu Rendra adalah seorang direktur perusahaan besar, dan membantu dengan informasi yang mereka butuhkan pasti bukan masalah. Namun, dia juga merasa tidak nyaman dengan kebohongan kecil yang terus berlanjut.
"Tapi... aku khawatir, Mas. Mereka sudah mulai curiga tentang statusku. Jika aku bilang kamu kakak, bagaimana kalau mereka menemukan kebenarannya? Aku... aku tidak tahu bagaimana harus menghadapinya."
Rendra mengerti keraguan Eriska dan mendekat, menggapai tangannya. "Kamu tidak perlu merasa terbebani, Eris. Ini adalah pilihanmu. Jika kamu merasa nyaman, kamu bisa saja mengaku pada mereka kapan saja. Mereka sudah jadi teman dekatmu. Apa yang kamu pikirkan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Remember me
RomanceSetelah terbangun dari koma, Eriska belajar mengingat semua yang telah terjadi padanya. Termasuk cinta pertamanya