Di ruang belajar yang sunyi, Eriska duduk diam di depan meja belajarnya, dengan sebuah pensil di tangan. Kertas di depannya penuh dengan garis-garis rancangan sebuah bangunan impian yang sedang ia kerjakan. Sejak diagnosis penyakitnya, menggambar menjadi pelarian dan penghiburan baginya, sebuah harapan kecil bahwa suatu hari nanti ia bisa mengejar mimpinya untuk masuk jurusan arsitektur
Rendra duduk di sudut ruangan, memperhatikan Eriska dengan penuh perhatian. Ia tahu betapa pentingnya aktivitas ini bagi Eriska, dan meskipun dia tak banyak bicara, kehadirannya selalu ada untuk memberikan dukungan tanpa kata
Namun, tiba-tiba, pensil di tangan Eriska terlepas. Tangannya terasa kaku, otot-otot di jari-jarinya sulit digerakkan. Frustrasi mulai menyusup dalam dirinya, menggantikan ketenangan yang ia rasakan beberapa menit sebelumnya. Wajahnya menegang, dan sebelum Rendra bisa bereaksi, Eriska mengeluarkan jeritan frustasi, memukulkan tangannya ke meja
"Aaarrghh!" teriaknya, memukul meja sekali lagi. Kertas-kertas yang berada di meja berantakan, beberapa jatuh ke lantai
Rendra segera berdiri, langkahnya cepat namun tenang menghampiri Eriska. "Eris, tenang... jangan terlalu keras pada dirimu sendiri," ujarnya dengan suara lembut, mencoba meredakan emosi gadis itu
Eriska menarik napas cepat, matanya berkaca-kaca. "Kenapa selalu begini, Mas? Setiap kali aku mencoba... setiap kali aku ingin melanjutkan... tanganku ini!" tangisnya tertahan, suaranya pecah di tengah kalimat
"Ini bukan salahmu, Eris. Kamu sedang berjuang... dan kadang itu memang sulit. Tapi aku tahu kamu kuat. Kita akan hadapi ini, sama-sama," katanya, tetap sabar
Eriska terus meronta, memukul meja dengan tangannya yang kaku dan penuh frustrasi. Air mata mengalir deras di pipinya, sedangkan rasa sakit dan kemarahan menguasainya. Ia merasa tak berdaya di tengah perjuangannya, sementara tangannya yang biasanya lentur dalam menggambar kini tidak bisa berfungsi seperti yang diharapkannya
"Aku benci ini! Aku benci semuanya!" Eriska terisak, memukul meja lagi
Rendra merasa tak sanggup lagi melihat Eriska seperti ini. Tanpa berpikir panjang, ia segera merangkul tubuh Eriska dengan erat, mencoba menenangkannya. Pelukan itu kuat namun lembut, memberi rasa aman dan kenyamanan yang Eriska butuhkan di tengah amukannya
"Eris... sudah, sudah... aku di sini. Tenanglah..." bisik Rendra dengan suara rendah, mencoba menenangkan tangisannya yang pecah di bahunya
Eriska menangis lebih keras, tetapi sedikit demi sedikit, tangisannya mereda dalam dekapan Rendra. Nafasnya yang terengah-engah perlahan mulai stabil, meski kesedihan masih terpancar jelas di wajahnya. Rendra mengusap punggungnya dengan lembut, memberi ruang untuk Eriska meluapkan emosinya sampai ia lebih tenang
Setelah beberapa menit berlalu, ketika tangis Eriska mulai berhenti, Rendra dengan hati-hati memindahkan tangannya dari pelukan. Ia mengangkat ponselnya dan segera menelepon seseorang
"Dokter Haris," panggilnya di telepon, "Saya butuh bantuan Anda sekarang. Eriska memerlukan pelemas otot... tangannya kaku lagi."
Beberapa menit kemudian, Dokter Haris tiba di ruangan. Dengan wajah penuh simpati, ia segera memeriksa kondisi Eriska, yang kini terlihat lebih tenang tetapi masih terlihat kelelahan. Tanpa banyak bicara, dokter itu menyiapkan suntikan pelemas otot
"Ini akan membantu melemaskan otot-otot di lenganmu, Eriska," kata Dokter Haris dengan lembut
Rendra tetap berada di samping Eriska, merangkulnya dengan erat sementara Dokter Haris menyuntikkan obat. Eriska meringis kecil saat jarum menyentuh kulitnya, tetapi ia tetap diam, mempercayai bahwa ini akan membantunya merasa lebih baik
KAMU SEDANG MEMBACA
Remember me
RomanceSetelah terbangun dari koma, Eriska belajar mengingat semua yang telah terjadi padanya. Termasuk cinta pertamanya