⚠️Further into the ocean

15 4 0
                                    

(WARNING: SUICIDAL SCENE. Yang tidak nyaman membacanya harap skip)

Masa laluku benar-benar tak pernah bisa hilang dari pikiranku. Aku masih ingat hari itu dengan sangat jelas, hari di mana aku menemukan kakakku, Rania, tak lagi bernyawa. Ia memilih "kebebasannya sendiri" dengan cara yang tak pernah kubayangkan. Orang tuaku tak pernah menyadari tekanan yang mereka berikan kepada Rania, sampai semuanya terlambat. Mereka menuntut kesempurnaan, dan bagi Rania, beban itu terlalu berat. Aku, sebagai adik yang dulu selalu mengagumi sosoknya, merasa tak berdaya menyaksikan kehancurannya.

Saat pemakaman, aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Aku hanya berdiri di sana, mencoba memahami semuanya. Bagaimana bisa seseorang yang kucintai dan kukagumi menghilang begitu saja? Dunia seakan kehilangan warnanya, kosong dan dingin. Orang-orang mengucapkan belasungkawa, tapi semuanya terasa hampa.

Aku masih ingat dengan jelas saat Eriska pertama kali mengajakku bicara setelah pemakaman Kak Rania. Aku duduk sendirian di sudut halaman rumah, tenggelam dalam kesedihan yang menyesakkan. Rasanya seperti ada lubang besar dalam diriku yang tak bisa kuisi, tak ada kata-kata yang mampu menghibur, bahkan dari orang-orang terdekat sekalipun.

Tiba-tiba, aku merasakan seseorang duduk di sampingku. Ketika menoleh, aku melihat sosok kecil Eriska. Dia tampak canggung, menggenggam ujung bajunya sendiri sambil menatap ke arahku dengan mata besar yang penuh rasa ingin tahu, tetapi juga ada kelembutan di sana. Dia hanya diam untuk beberapa saat, seolah sedang mengumpulkan keberanian untuk berbicara.

Dan kemudian, dengan suara yang lembut dan sedikit bergetar, dia berkata, "Mas, kalau sedih... boleh kok nangis."

Kata-kata itu sederhana, tapi entah bagaimana, terasa seperti sebuah pelukan hangat di tengah dinginnya kehilangan yang kurasakan. Aku yang saat itu mencoba menahan semuanya, berusaha tampak kuat di depan orang lain, akhirnya merasa ada seseorang yang memahami kesedihanku tanpa menghakimi. Eriska, gadis kecil yang bahkan belum tahu betapa rumitnya kehidupan, mampu merasakan perasaanku dengan cara yang tak dimiliki orang dewasa di sekitarku.

Aku tidak langsung menjawabnya. Aku hanya menatapnya, dan di sana aku melihat ketulusan yang murni, sesuatu yang mungkin sudah lama tak kulihat di dunia yang penuh dengan ambisi dan tuntutan. Tanpa sadar, aku merasakan air mataku mulai jatuh. Eriska hanya tersenyum kecil, lalu menggenggam tanganku dengan lembut, seolah-olah kehadirannya saja sudah cukup untuk membantuku melewati kesedihan itu.

Sejak saat itu, Eriska menjadi semacam cahaya kecil di hidupku. Dia tak pernah tahu betapa besar pengaruhnya pada diriku, bahkan saat aku tumbuh dewasa dan dia menjadi bayangan dari masa laluku yang sering muncul dalam pikiranku. Kehadirannya di hari itu memberi semacam kekuatan untuk terus bertahan, seolah mengatakan padaku bahwa masih ada hal baik di dunia ini meskipun semuanya terasa suram.

Dan ketika bertahun-tahun kemudian aku kembali bertemu dengannya, aku merasa seperti menemukan kembali bagian diriku yang hilang. Gadis kecil yang dulu memberiku harapan itu telah tumbuh menjadi wanita yang cantik, cerdas, dan penuh kehidupan. Aku tak pernah menyangka perasaan yang dulu sederhana itu berkembang menjadi cinta yang begitu dalam. Tapi kini aku sadar, cinta yang kumiliki untuk Eriska juga telah tercampur dengan ketakutanku yang berlebihan, sebuah rasa takut yang akhirnya malah melukai dirinya.

Aku ingat tatapan kecilnya waktu itu, tatapan yang penuh empati dan kebaikan, dan bertanya-tanya apakah aku masih bisa menemukan tatapan itu di dirinya sekarang, setelah semua luka yang telah kutorehkan.

***

Aku datang ke rumah keluarga Eriska dengan langkah berat, membawa beban yang rasanya semakin menekan setiap kali aku mendekati pintu mereka. Di depanku, berdiri rumah yang begitu familiar, tempat aku dulu disambut dengan hangat sebagai bagian dari keluarga. Tapi hari ini, aku merasa seperti orang asing yang tak punya hak untuk berdiri di sini. Hawa dingin seakan menamparku, menambah perasaan bersalah yang membuncah dalam dada.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 16 hours ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Remember meTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang