Lembayung biru

106 8 0
                                    

Pagi itu, sinar matahari menembus celah tirai kamar Eriska. Ia menggeliat perlahan, mengusap matanya yang masih terasa berat. Namun, saat kepalanya menoleh ke samping, ia terkejut melihat Rendra yang tertidur di sebelahnya

"Mas Rendra?!" Eriska setengah berbisik, setengah kaget. Pikirannya berputar-putar, mencoba mengingat bagaimana bisa Rendra ada di situ. "Kok bisa... dia di sini?"

Rendra terbangun perlahan mendengar suara Eriska. Ia membuka matanya dan langsung tersenyum hangat melihat Eriska yang tampak kebingungan. "Pagi, Ris... Tidurmu nyenyak?"

Eriska mengerjap beberapa kali, bingung dan malu. "Mas Rendra... kenapa ada di sini? Kok tidur di sampingku?"

Rendra duduk perlahan, menyandarkan punggungnya ke kepala ranjang. Dia menghela napas sambil menatap lembut ke arah Eriska. "Kamu lupa, ya?" tanyanya lembut, tapi dia sudah tahu jawabannya

Eriska sering mengalami kesulitan mengingat hal-hal kecil, terutama yang baru saja terjadi. Efek penyakit dan kemoterapi perlahan-lahan membuatnya sering bingung dengan detail sehari-hari

Eriska menggigit bibirnya, merasa sedikit bersalah dan frustasi. "Aku... ya, aku lupa," ucapnya pelan, menunduk menatap selimut. "Maaf, Mas."

Rendra tersenyum dan mengusap rambut Eriska dengan lembut. "Nggak perlu minta maaf. Itu bukan salahmu. Kita habis ngobrol panjang tadi malam, terus kamu minta Mas tetap di sini sampai kamu tidur."

Eriska menatap Rendra dengan mata penuh rasa syukur, tapi juga sedikit malu. "Aku nggak ingat sama sekali... kenapa aku bisa lupa?" gumamnya pelan

Rendra memegang tangan Eriska, menenangkannya. "Kamu sedang berjuang, Ris. Kadang otakmu juga perlu istirahat. Yang penting kamu nggak sendirian dalam ini. Mas akan selalu ada buat kamu."

Mendengar kata-kata Rendra, Eriska menahan air matanya yang hampir tumpah. "Makasih, Mas... Kamu selalu sabar banget sama aku."

Rendra hanya mengangguk dan tersenyum hangat. "Itu karena aku sayang sama kamu, Ris. Apapun yang terjadi, aku akan ada di sini, di sampingmu."

Eriska akhirnya tersenyum meski masih merasa sedikit bingung dengan ingatannya yang terus menghilang. Tetapi satu hal yang ia tahu pasti, Rendra akan selalu ada di sisinya, membantu melewati hari-hari yang sulit

Pagi itu, Eriska dan Rendra berjalan turun menuju ruang makan. Mereka sudah tahu, suasana sarapan pasti akan berbeda setelah kejadian semalam. Begitu sampai di ruang makan, suasana yang awalnya tenang langsung berubah saat Sandra dan Keenan yang duduk di meja mulai saling lirik-lirikan

"Selamat pagi pasangan manis," ujar Keenan dengan nada jahil sambil menyeringai. "Tidur nyenyak, ya? Gimana, Ren, kasur Eris empuk kan?"

Sandra yang duduk di sebelahnya tak bisa menahan tawa kecil. "Hahaha, iya, Ren, gimana? Eris nggak rebutan selimut, kan?"

Eriska langsung tersipu, pipinya memerah. Ia menundukkan wajah, sementara Rendra hanya tersenyum tipis, mencoba menjaga ketenangan meski suasana menjadi canggung. "Kalian ini..." gumam Rendra, menggeleng pelan, tapi matanya menatap ke arah Keenan penuh peringatan halus

Tiba-tiba Kafka yang duduk di ujung meja membersihkan tenggorokannya dengan keras, suaranya penuh otoritas. "Eriska," panggilnya tegas, membuat suasana langsung hening. "Kamu masih SMA. Masih kecil. Jadi kamu harus ingat batasannya."

Eriska mengangguk pelan, merasa sedikit tertekan oleh tatapan protektif kakaknya. "Iya, Mas..." jawabnya lemah

Sandra melirik Kafka dengan senyum tipis, seolah ingin menambah bumbu ke suasana. "Kafka, tenang aja dong. Kan mereka sudah tunangan, jadi wajar-wajar saja kalau dekat."

Remember meTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang