Keesokan harinya, Eriska kembali ke sekolah dengan wig yang rapi menutupi kepalanya. Meskipun senyumnya terlihat hangat seperti biasa, hatinya masih dipenuhi kecemasan tentang berbagai hal—terutama setelah insiden dengan Keenan kemarin. Ia melangkah ke kelas, dan matanya langsung tertuju pada Bayu yang duduk di pojok belakang, dengan wajah tertutup jaket
"Bayu?" panggil Eriska pelan saat ia menghampiri bangkunya. Namun, Bayu tetap diam, tidak memberikan respons
Jam demi jam berlalu, namun Bayu tetap sama—membisu di balik jaketnya. Saat jam pelajaran terakhir hampir selesai, Eriska tidak bisa lagi menahan rasa khawatir yang semakin kuat. Ketika bel berbunyi, ia segera menghampiri Bayu, mendekatkan dirinya ke bangkunya
"Bayu, lo kenapa sih?" tanyanya dengan suara cemas, menyentuh lengan Bayu
Bayu diam sejenak, tubuhnya kaku. Akhirnya, dengan enggan, ia menyingkirkan jaket dari wajahnya. Begitu melihatnya, Eriska tersentak. Wajah Bayu penuh dengan luka memar dan lebam di sekitar matanya. Jelas, ini bukan hasil dari jatuh atau kecelakaan kecil
"Ya Tuhan, Bayu!" seru Eriska, panik. "Apa yang terjadi? Siapa yang melakukan ini?"
Bayu mencoba tersenyum tipis, meskipun jelas rasa sakit menggerogotinya. "Nggak apa-apa, Ris... gue cuma... jatuh dari motor," jawabnya, berusaha untuk tidak memperkeruh keadaan
Eriska tidak percaya begitu saja. Ia tahu ada sesuatu yang lebih dari sekadar "jatuh dari motor." Perasaan bersalah membebani hatinya. "Apa ini gara-gara Keenan?" bisiknya
Bayu menatapnya sebentar sebelum mengalihkan pandangannya, tidak ingin menjawab. Ia tahu Eriska akan merasa lebih buruk jika mengetahui yang sebenarnya
"Bayu, tolong jujur sama gue," pinta Eriska, suaranya bergetar. "Kalau ini memang gara-gara Keenan, gue yang akan bicara sama dia. Gue nggak mau lo disakiti kayak gini."
Namun Bayu menggeleng lemah. "Nggak perlu, Ris. Ini urusan gue. Lo nggak usah khawatir."
Eriska duduk terdiam, hatinya diliputi berbagai perasaan. Ia ingin melindungi Bayu, tapi juga tahu bahwa Keenan sulit dihadapi
"Bayu... lo itu penting buat gue," bisik Eriska, suaranya pelan tapi tegas. "Gue nggak mau lihat lo terluka kayak gini, apalagi gara-gara gue."
Eriska tidak bisa menahan air matanya lagi. Dia menangis terisak, melihat luka-luka di wajah Bayu. Perasaan bersalah membanjiri dirinya karena tahu bahwa Keenan, kakaknya, adalah pelakunya. Tanpa berpikir panjang, ia meraih tangan Bayu dan berkata dengan suara yang bergetar, "Ayo, kita ke ruang kesehatan. Gue nggak bisa biarin lo begini."
Bayu menatap Eriska, hatinya tersayat melihat gadis yang ia sayangi menangis karenanya. "Ris, nggak usah... Gue nggak apa-apa," ucapnya, meski jelas dari nada suaranya bahwa ia sedang menahan rasa sakit.
Namun Eriska tidak mau mendengar penolakan itu. Ia tetap menggandeng tangan Bayu dengan lembut namun tegas, membawanya keluar kelas menuju ruang kesehatan. Bayu hanya bisa mengikutinya, merasa bersalah karena membuat Eriska khawatir, sementara di dalam hatinya perasaan campur aduk mulai tumbuh—antara rasa sakit fisik dan perasaan mendalam yang selama ini ia simpan untuk Eriska
Sesampainya di ruang kesehatan, Eriska langsung mengambil kotak P3K dan mulai merawat luka di wajah Bayu. Tangannya gemetar sedikit saat ia membersihkan luka di sekitar mata Bayu yang lebam, lalu menempelkan plester di beberapa bagian wajahnya yang memar
"Maaf, Bayu..." bisik Eriska, air matanya masih berlinang. "Ini semua gara-gara gue. Kalau bukan karena gue, lo nggak akan kayak ini."
Bayu menunduk, merasakan rasa bersalah yang mendalam. "Lo nggak perlu minta maaf, Ris. Ini bukan salah lo," ucapnya pelan, meskipun ia tahu bahwa perkataannya mungkin tidak akan mengurangi beban di hati Eriska
KAMU SEDANG MEMBACA
Remember me
RomanceSetelah terbangun dari koma, Eriska belajar mengingat semua yang telah terjadi padanya. Termasuk cinta pertamanya