2.1

5 1 0
                                    

“Kalau iya emang kenapa?” kata Sean.

Bersama pandangan hampa yang bersambung senyum ia katakan dengan nada yang lemah. “Aku tahu kamu mau menyelidiki kasus ini demi ayahmu, tapi menyentuh TKP dan merusak kondisi aslinya adalah kesalahan fatal,” ungkap Noah. “Kamu tahu gak? Cara ini bisa mengacaukan kasus sekarang, yang mungkin masih sejalan dengan kasus lama—,” Ia menebalkan perkataannya, “—ingat, ayahmu.”

Dan kepalan tangan seketika mengenai pipi kirinya, lanjut oleh tangan yang sama kerah jaketnya pun di genggam kuat. “Ya lalu aku harus apa!?” balas Sean dengan suara yang bergetar. “Aku tahu yang kulakuin, termasuk konsekuensinya bila nanti aku gagal. Tapi lebih baik aku mati dengan hina dimata mereka, dari pada melihat nama orang tuaku diinjak-injak.”

Langsung saja kedua kakinya bergerak mundur sesaat tangan yang tampak gemetar itu mendorong badannya ketika tiada dirinya bergeming selain menampakkan ketegasan. “Jangan ganggu aku kalau kamu emang gak suka.”

Namun, tetap saja akhirnya ....

“Sean!” Hentikan, sia-sia saja suaramu jika laki-laki itu memang sudah tak ingin dengar kejelasan lain.

Kebingungan, memang apa lagi yang bisa dia lakukan. Maaf, aku memang pengecut. Jiwa itu perlahan mulai menggenangi pelupuk matanya tanpa sadar, benang kusut dalam otaknya, mengetahui salahnya yang entah mesti melakukan apa. Bukan tipikal pelanggar hukum, apalagi berenang di sana. Namun dengan tegas hati kecil itu berujar, Akan kubantu sebisaku.

***

Hitam&Putih : Benang yang PutusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang