Kehilangan

169 24 24
                                    

Dunk menahan napas. Aroma ribuah bunga berkumpul menjadi satu, mengusik resah.

Udara dingin yang merayap perlahan mengundang rasa tenang, namun di sisi lain juga mematri sepi di istana agung. Kompleks bangunan berlapis emas itu menyala di tengah hamparan taman yang indah.

Ribuan bunga mekar bersama di malam bulan purnama, sementara cahaya bulan perak kebiruan bersaing dengan lentera-lentera yang mulai menyala semenjak senja.

Aliran sungai-sungai kecil namun dalam membisikkan mantra-mantra, lebih nyaring dari suara musik petik dan tabuh yang dimainkan di pelataran luar untuk mengiringi para penari.

Dunk menemukan dirinya dalam wujud selir agung ketujuh berjalan memimpin dayang-dayangnya menaiki tangga-tangga pualam. Pilar besar berukir naga berjajar di ujung tangga, sementara di kanan dan kirinya, pengapit anak tangga dihiasi patung-patung berkilauan. Mata dari permata, pakaian berlapis emas.

Kain hijau daun muda yang dipakainya menjuntai hingga beberapa anak tangga berikutnya. Satu kain yang lebih panjang dengan warna satu tingkat lebih tua disampikan di pundak. Permata hijau yang menghiasi tubuhnya dikirim langsung oleh utusan Kaisar Naga siang tadi, memaksanya untuk hadir dengan segela gemerlap yang tidak serupa dengan cara hidup seorang peri hutan.

"Yang mulia selir agung ketujuh, tunggu akuuu!" Suara nyaring terdengar dari belakang.

Jika ingatan ini dilihatnya beberapa bulan lalu, Dunk mungkin akan menggelindingkan dirinya sendiri sampai ke anak tangga paling bawah, tetapi kali ini, dia tidak lagi terkejut. Dia menoleh dengan anggun dan memberikan senyuman kepada selir agung keempat, mari menyebutnya Fourth agar lebih sederhana, berlari menaiki anak tangga hingga membuat para dayangnya pontang-panting.

Selir agung termuda itu tidak terlihat peduli pada situasi yang terbilang membahayakan diri sendiri. Para penjaga langsung berlutut sampai wajah mereka nyaris terkubur agar terhindar dari hukuman kehilangan kepala lantaran tanpa sengaja melihat betis selir agung yang memakai kain berwarna kuning dan toska itu.

Suara gemerincing dari gelang kaki Fourth menunjukkan betapa ringan tubuhnya dalam bergerak. Dunk mengulurkan tangannya yang segera disambit oleh Fourth.

"Bernapaslah dulu." pintanya.

Fourth berhenti bergerak, mengatur napas.

"Apakah kita akan terlambat?" tanya yang lebih muda.

Dunk menggelengkan kepala. Dia masih bisa melihat rona merah akhir senja jauh, mereka masih punya waktu bahkan untuk duduk di tangga dan menghitung jumlahnya sebanyak sepuluh atau dua puluh kali putaran berturut-turut.

"Tidak. Masih banyak waktu!" Dunk menjawab.

Dia tidak perlu memikirkan jawabannya karena semua itu mengalir dengan sendirinya. Semua yang dia rasakan, dia dengar, dia sentuh dan dia katakan bukan berasal dari dirinya. Semuanya adalah ingatan milik selir agung ketujuh.

Fourth memeluk tubuhnya sendiri sejenak sembari membenahi letak kain tipis yang dikaitkan dengan untaian batu mulia dan sejenis logam mulia di pundaknya.

"Ini dingin." keluhnya pelan.

Dunk hanya tersenyum. Dia menatap ke atas. Dia tidak melihat siapapun di sana, tetapi udara dingin yang merayap perlahan dan menyejukkan seluruh taman istana agung pasti ada di atas ujung tangga sana.

"Sepertinya selir agung keenam sudah tiba terlebih dahulu." tebaknya.

Fourth mengangguk-angguk.

"Wah, tidak biasanya. Dia awal sekali. Kali ini, bisakah kita pergi menyapanya terlebih dahulu." Fourth memohon.

7 Concubine (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang