Pelindung

321 35 2
                                    

Jam dua pagi, Dunk dipaksa bangun karena terjadi keributan. Kali ini bukan di dalam mimpinya, membuatnya merasa kega melihat panorama kamarnya sendiri.

Kakinya turun dari kasur, dia duduk diam sejenak sampai kesadaranya pulih. Baru kemudian keluar dari kamar untuk memeriksa penyebab suara-suara berisik yang membangunkanya.

Sepanjang menuruni tangga, Dunk tidak melihat seorangpun. Tidak ada ayah dan ibunya yang baru tiba jam sembilan malam tadi maupun para asisten rumah tangga.

"Trik, triiiingg!!"

Dunk mendengar suara dua lempengan logam yang bertemu dan saling menghantam. Sepertinya, suara-suara yang berisik itu berasal dari lantai satu.

Menapakkan kaki di anak tanga terakhir, Dunk tetap tidak melihat siapapun. Lampu-lampu masih dalam keadasn mati, menyisakan lampu-lampu khusus yang redup. Para asisten rumah tangga secara umum baru bekerja di pagi hari, setelah sarapan. Ayah Dunk sebagai kepala keluarga sendiri yang menyusun peraturan dan disepakati bersama bahwa siapapun yang bekerja di rumah itu memiliki jam istirahat yang cukup dan satu hari libur setiap mingunya. Oleh karena itu, sebenarnya Dunk sadar benar bahwa sudah seharusnya tidak ada yang berkeliaran di dalam rumah.

"Mama," Dunk memangil, nyaris tak terdengar.

Dia memanggil apa yang tidak mungkin menangapi, Dunk hanya sedang mencoba untuk menenangkan dirinya.

"Brak!!!!"

Bunyi sesuatu yang jatuh dan menabrak permukaan keras terdengar. Dunk nyaris terjungkal karena merasakan pijakanya bergetar secara tiba-tiba.

Rasa seperti gempa kecil yang segera bertambah kekuatan guncanganya. Dunk mencoba berlari tetapi malah terjatuh. Lantai rumahnya seakan tak mengizinkan untuk beranjak. Mulai panik, Dunk mencoa untuk memberi peringatan kepada seisi rumah tetapi tidak bisa, suaranya juga tercekat di tengorokan tak bisa berteriak.

Brakkk!!!!

Pintu depan terbuka, seperti baru saja didorong oleh kekuatan besar, memaksa dua pintu berbahan tebal dan kokoh itu berpisah satu sama lain.

Joong!!

Dunk ingin berteriak memangil nama cowok itu, tetapi bibirnya terkunci. Anehnya, Joong tetap menoleh ke arahnya.

Bola api besar melesat cepat ke arah Joong, menghantam pemilik mata dengan kesan mendalam itu dan membuatnya terlempar. Tubuh Joong terjatuh semeter di sebelah kanan Dunk, tetapi kemudian terdorong kembali dan baru berhenti setelah menabrak kaki meja marmer.

Gempa berhenti, memberi kesempatan kepada Dunk untuk berlari ke arah Joong dan membantunya untuk duduk. Beberapa kali terguling dan berakhir menabrak benda keras membuat Joong terbatuk dan terbatuk.

"Joong!" Dunk kembali mendapatkan suaranya, menyebut nama sosok yang dibantunya untuk duduk.

Darah menyembur, menodai tangan Dunk dan membuatnya bergetar. Darah segar itu berwarna hijau dan terasa hangat, bukan darah merah seperti yang umum dia lihat.

"Dunk!" Joong memekik dengan suara yang serak.

Dunk mengabaikan keanehan pada darah itu karena mendengar suara Joong yang sangat tersiksa. Dunk membant Joong duduk dan menepuk-nepuk pelan punggungnya. Posisi Dunk yang membelakangi pintu membuatnya tidak menyaksikan bagaimana sosok bertubuh besar dengan baju zirah dari leher sampai ke kaki mendekat.

Suara langkah kaki yang berat dan logam yang diseret adalah alasan Dunk menyadari ada yang sedang berjalan ke arahnya. Begitu dia menoleh, sosok berzirah itu sudah berdiri tegak dengan sebuah tombak yang lebih panjang dari keseluruhan tubuh Dunk.

Mendongak untuk melihat sosok itu dari bawah, Dunk tidak bisa mengenali wajahnyabdengan jelas, tetapi perawakannya kurang lebih miripnseperti sosok yang memberikan buket peony merahnkepada Nicha tempo hari. Hanya saja, yang satu ini jauh lebih besar.

Dia mengayunkan tombaknya ke arah Joong, lalu mengarahkan mata tombak pada tubuh yang bersandar pada Dunk dalam kondisi lemah itu.

"Menjauhlah dari sini, Periku. Pendosa ini harus dihukum!" Suara berat laki-laki berzirah itu memberi getaran sebuah titah mutlak.

"Dunk, larilah." Joong berbisik, setengah merintih kesakitan.

Dunk menggeleng. Dia memang tidak benar-benar menyukai Joong, mereka bertemu dengan kesan pertama yang cukup buruk tetapi Dunk bukan seseorang yang akan melupakan kebaikan orang lain sekecil apapun itu.

Laki-laki dengan tubuh tinggi besar itu menunduk, meraih pergelangan tangan Dunk kemudian menariknya, membuat tubuh Dunk terangkat.

Dunk mengayunkan kakinya, mencoba untuk membebaskan dirinya sendiri. Sayangnya, selain usaha dia tak menghasilkan apapun.

Angin dingin memasuki seluruh rumah lewat pintu yang terbuka lebar. Makhluk besar itu segera meletakkan Dunk di pundaknya, membuat Dubk pusing dan hanya bisa melihat lantai rumahnya sendiri.

Angin dingin itu tidak datang sendirian. Dunk bisa melihat lantai rumahnya tiba-tiba dilapisi selimut es tipis, berkilau ditimpa cahaya lampu yang temaram.

Kupu-kupu berwarna putih dengan garis merah di ujung sayapnya menyerbu masuk, melingkupi Dunk dan sosok yang memanggulnya. Kupu-kupu itu menyebarkan hawa dingin, membuat Dunk yang hanya menggunakan selapis pakaian tidur merasa seperti akan berubah menjadi patung es.

Menyusul hawa dingin dan selimut es tipis itu, api begerak seperti akar-akar pohon yang hidup, bergerak di atas es seperti sengaja diberi jalan. Api itu merambat lebih cepat, membungkus hanya sosok itu.

Dunk terjatuh karena penopangnya terbakar dan berubah menjadi serpihan. Joong menangkap tubuh Dunk persis sebelum bertemu lantai, kemudian menariknya menjauhi serpihan hitam yang masih terbakar api. Kupu-kupu putih dengan garis merah memadamkan api dan membawa pergi sisa serpihan.

Pintubtertutup bersamaan dengan perginya para kupu-kupu itu. Entah tadi dia baru setengah sadar atau apa tetapi Dunk bisa melihat lampu-lampu rumahnya menjadi lebih terang. Joong melindunginya tetapi sepertinya aksi nekat itu membuat lukanya menjadi lebih parah.

"Uhuk!" Joong  lagi dan darah hijau tumpah.

"Joong, astaga, apa yang terjadi kepadamu?" Dunk bertanya dengan panik.

Joong tak menjawab, hanya matanya yang memandang Dunk dengan tatapan dalam dan raut diselimuti kelegaan. Tanganya menangkup pipi Dunk yang  masih dingin.

"Ma ....!!" Dunk berteriak, memanggil mamanya yang seolah tidak mendengar keributan sama sekali.

Dunk gagal mengulangi aksinya. Jong membekap mulutnya terlebih dahulu, membawanya berguling dan menindih tubuhnya, menahan Dunk agar tetap berbaring terlentang di atas lantai.

"Dunk, kamu hanya bermimpi." Joong berbisik, menatap mata Dunk yang berkedip seperti boneka.

"Kamu jangan gila, apa kamu terbentur sampai hilang ingatan? Aku sadar seratus persen!" tolak Dunk.

Dengan cukup keras, Dunk mendorong Joong. Tidak tinggal diam, Joong mencekal tangan Dunk lalu mendaratkan bibirnya untuk membungkam yang lebih kecil.

Dunk masih sempat melawan, tetapi Joong semakin menekan tubuhnya, seakan ingin menengelamkannya ke dalam lantai. Hitungan mundur seakan dimulai sampai ledakan terasa di dada dan Dunk kehilangan kesadaran.

***

Aroma mawar, hawa dingin di sekitar dan suara kecipak air.

Dunk membuka mata, menemukan dirinya terbaring dibatas pembaringan yang empuk dan sejuk. Ada suara gemerincing menyenangkan dan petikan alat musik. Seperti sebuah reaksi alami, Dunk menoleh ke arah sumber suara, mencari siapa yang memainkan alat musik itu.

Punggung dengan bahu yang indah, dibalut kain berwarna putih. Kupu-kupu putih dengan garis merah di ujungnya berterbangan mengelilingi sosok itu, membawa percikalan berkilau.

Dunk mengedipkan mata dan seketika pemandangan di depannya berubah. Dia kembali ke kamarnya, kemudian menyentuh bibirnya dengan ibu jari.

Rasanya seperti ada yang hilang.

-

19 Oktober 2023
13:36

7 Concubine (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang