Pewaris

248 28 14
                                    


Dunk melangkahkan kakinya mendekati Pond yang masih mengobrol dengan beberapa teman di lorong, semeter samping kanan pintu ruangan yang menjadi kelas umum untuk mereka tadi.

Perdebatan yang dia kira akan terjadi antara dirinya dengan sang kakek tidak benar-benar terjadi. Laki-laki yang sudah cukup lanjut usia itu memilih mendiamkan Dunk, bahkan saat Dunk pamit berangkat ke kampus. Hanya Mama yang menyampaikan bahwa kakek mungkin tidak akan benar-benar menerima apa yang Dunk jelaskan. Seumur hidup, laki-laki itu tidak pernah merasakan penolakan, membuat apa yang Dunk sampaikan kepadanya memberikan pengalaman pertama.

Pond yang menjemputnya menanggapi dengan cukup bijak. Kakek mungkin berpikir bahwa apa yang menjadi keputusannya adalah yang terbaik, karena selama ini begitulah yang dia percayai. Tetapi, dibandingkan siapapun, kakek juga bisa menjadi orang yang paling tidak akan rela jika Dunk disakiti. Membalikkan keyakinan kakek bahwa Michael adalah yang terbaik bagi Dunk dengan menunjukkan bahwa laki-laki itu ternyata bersikap kasar pada cucunya membuat dia terkejut.

"Pond, apakah kamu akan langsung pulang?" tanya Dunk.

Pond tersenyum dan menggeleng, tetapi tidak menjawab ke mana dia akan pergi. Sebagai sahabat, Dunk cukup mengerti alasan Pond tidak mengatakan itu. Artinya, dia bukan akan pergi bekerja, tidak juga akan langsung pulang ke rumah.

"Bisakah aku menumpang? Besok aku akan membawa mobilku sendiri." Dunk melanjutkan.

Pond mengangguk dan mengiyakan, tetapi mahasiswa lain mulai berebut untuk mengambil alih penawaran yang Dunk berikan kepada sahabatnya.

"Biar aku saja yang mengantar kamu, Dunk. Pond belum akan pulang, bukan?"

"Kita searah loh!"

"Kebetulan aku ada perlu di daerah sekitar rumah kalian!"

"Mobilku baru saja tiba kemarin, apa kamu ingin mencobanya!"

Suara mereka seperti dengung kawanan tawon yang berhamburan keluar dari sarangnya, membuat Dunk ingin sekali menyumpal mulut mereka semua dengan piring dan gelas yang muncul dalam angan-angan.

Belum sampai Pond turun tangan untuk mengendalikan situasi yang bisa saja akan menjadi lebih menggila, Papa menelepon Dunk. Awalnya, Dunk malas menjawab karena tidak ingin membahas masalah Michael. Entah firasat atau apa, Dunk merasa bahwa papanya, mamanya, apalagi kakek dan neneknya masih ingin mendorongnya untuk menjadi jembatan penghubung bagi dua keluarga.

Munculnya sosok bayangan gelap seperti seekor ular besar yang bergerak di luar jendela membuat Dunk menekan tanda hijau. Perasaannya menjadi lebih tidak enak karena sosok ular besar itu dengan sisik-sisik yang selebar wajahnya seolah sedang melilit gedung fakultas.

Mata Dunk segera mencari mata Pond tetapi sahabatnya itu rupanya juga sedang sibuk dengan gawai, menunduk untuk memeriksa pesan masuk. Pond sangat fokus, membuat Dunk segera mengira Phuwinlah yang mengirimi Pond pesan.

"Iya, Pa." jawabnya ketika suara Papa mulai terdengar.

Dunk melangkah menjauh, tetapi itu juga mendesaknya untuk mendekati jendela. Untungnya, sosok yang Dunk yakini berwujud serupa ular raksasa itu tidak lagi tampak.

Pemandangan sore di luaran kampus terlihat lebih ramai. Sekian belas mahasiswa bergerak dalam rombongan-rombongan kecil menyeberang untuk pulang, sebagian lagi berjalan sendirian dengan terburu-buru, seperti sedang mengejar waktu, atau malah sebaliknya, dikejar waktu.

Michael baru saja mengalami kecelakaan, datanglah untuk mengunjunginya di rumah sakit. Begitu yang Papa sampaikan.

Tentu saja Dunk terkejut, tetapi tatkala matanya berjibaku dengan pemandangan yang lebih asing tetapi tidak lagi menakutkan, Dunk merasa bahwa hidupnya benar-benar dibayangi sisik naga.

7 Concubine (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang