✦•┈๑⋅⋯ ࣪˖ ִֶָ𐀔 ⋯⋅๑┈•✦
Althea terdiam sejenak, menimbang-nimbang perkataan Ibunya dan Ayahnya. Di satu sisi, ia ragu dan tidak ingin melakukan itu. Meski pun begitu, di sisi lain, ia juga ingin membalas dendam atas semua yang telah Xavier lakukan padanya dan keluarganya.
"Baiklah, Aku akan mencoba sebisaku." Ujar Althea akhirnya, dengan tekad bulat. Ibunya mengangguk, tersenyum puas.
"Itulah yang Ibu inginkan, Althea. Lakukan sebisamu dengan hati-hati tanpa menimbulkan kecurigaan."
Althea melangkah keluar dari kamar orang tuanya dengan perasaan campur aduk. Ia masih merenungkan rencana yang telah disusun Ibunya, namun tekadnya untuk membalas dendam pada Xavier semakin kuat.
Ia berjalan menuju kamarnya, memikirkan langkah selanjutnya. Bagaimana ia bisa mendekati Xavier tanpa menimbulkan kecurigaan. Ia perlu berhati-hati dan tidak boleh terburu-buru.
Althea masuk ke dalam dan duduk di sofa, ia menatap rak buku di samping ruangan sambil menghela nafas berat.
"Aku akan membalas dendam padamu, Xavier." gumamnya, matanya terlihat sangat tajam dan dipenuhi oleh kekesalan. Menandakan bahwa ia benar-benar ingin memenuhi harapan orang tuanya.
Althea pun mulai memikirkan rencana untuk mendekati Xavier. Ia harus mencari cara supaya dapat memperoleh kepercayaan Xavier. Althea tahu bahwa ini tidak akan mudah, tetapi ia akan berusaha semaksimal mungkin.
Ia meraih ponselnya dari saku celana, menarik nafas berat sebelum akhirnya meremas kuat ponsel di genggamannya.
Tick... Tock... Tick.. Tack...
Kamar Althea sangatlah sunyi, hanya terdengar suara pendingin ruangan dan jam dinding yang terus bergerak.
"Apa perlu aku mulai mendekatinya dari mengiriminya pesan terlebih dahulu?" Althea menatap nama kontak Xavier di layar ponselnya, ia takut jika Xavier akan merasa curiga terhadapnya yang mendadak saja mendekatinya.
Althea berinisiatif untuk melakukannya saja, ia mengetik kata demi kata dengan tegang, menyapanya terlebih dahulu. Namun, ketika ia ingin mengirimkan pesannya. Tiba-tiba saja ada telepon masuk.
Gerakan tangannya terhenti setelah melihat nama yang meleponnya, itu adalah Xavier. Ia segera menolaknya dan mengirimkan pesannya tadi. Tidak lupa untuk beralasan mengapa ia tidak menjawab telepon darinya.
Meskipun Althea telah menolak telepon darinya, ia masih saja terus melepon Althea. Seperti ingin menyampaikan sesuatu yang penting kepadanya. Suara nada dering itu sangatlah menggangu, Jadi Althea mengangkatnya,
"Apa?" Tanya Althea.
"Althea, sepertinya kau telah mengetahui kejadian yang menimpa Kakakmu. Maaf, aku tidak bermaksud melakukannya. Beberapa hari yang lalu, aku hanya sedang dalam emosi." Nada Xavier terdengar datar seperti tidak ikhlas dalam meminta maaf, hal simpel itu benar-benar membuat Althea geram dalam sekejap.
"Oh lupakan saja itu, tidak apa-apa." Althea memaafkannya dengan terpaksa, karena ia tahu bahwa ia harus melaksanakan rencananya dan tetap berakting baik terhadapnya.
"Terima kasih." Balas Xavier, sebenarnya ia sedikit tidak menyangka Althea akan memaafkannya begitu saja, padahal Kakaknya hampir meninggal karena ulahnya.
Mereka terdiam sebentar karena tidak tahu ingin membicarakan apa, Althea memutuskan untuk mematikan saja telepon itu.
"Itu saja yang mau kau sampaikan? Kalau begitu-"
"Tunggu sebentar, Thea." Xavier yang tiba-tiba memotongnya,
"Ya?"
"Tidak jadi."
Mendengar ucapan Xavier, Althea menjadi heran. Menurutnya, Xavier sepertinya ingin mengatakan suatu hal. Namun, setelah itu Althea langsung saja mematikan telepon tersebut, ia sudah malas menanggapinya.
Althea merenung terus-menerus, melihat layar ponselnya sekali lagi, jam menunjukkan angka 7 Malam, seharusnya ia sudah keluar kamar untuk makan malam bersama keluarganya. Akan tetapi, ia benar-benar tidak ingin makan. Jadi ia berinisiatif untuk tidak makan malam saja hari ini.
"Bagaimana ya." Althea menggigit-gigit jarinya, pikirannya masih penuh dengan berbagai hal yang mengganggu ketenangannya.
Tiba-tiba Althea teringat bahwa Xavier pernah suka, bahkan obsesi padanya. Sebenarnya Althea sudah menyadari itu dari pertama kali mereka bertemu, mulai dari keanehan perilakunya seperti pada saat Xavier telah mengenal Althea, padahal Althea tidak mengenalnya sama sekali. Serta yang paling jelas itu ketika Xavier menemukan nomor ponsel Althea padahal hanya keluarga dan teman dekatnya saja yang mengetahui hal-hal yang mencakup privasi seperti itu.
Althea menganggap bahwa sifat asli Xavier selalu muncul ketika ia sedang mabuk, seperti berminggu-minggu lalu ketika Xavier berperilaku sangat aneh dan terobsesi untuk memiliki dan menyakiti Althea, bahkan mencekiknya tanpa alasan, Althea ingat sekali ia menyium aroma alkohol yang kuat darinya. Sudah jelas, bahwa ia sedang mabuk berat waktu itu.
"Aku bisa gila memikirkan ini." Althea menepuk-nepuk wajahnya, menyadarkan dirinya sendiri, ia berusaha percaya bahwa semua kejadian itu hanya salah tingkah dan kebetulan saja. Tidak mungkin Xavier memiliki perasaan padanya.
"Namun, untuk apa juga ia memiliki perasaan yang serius terhadapku, tidak ada hal yang spesial dariku. Lagi pula Aku hanyalah manusia pada umumnya."
Althea menghembuskan nafas lega, berusaha berpikir positif dan berusaha untuk tidak berprasangka buruk terlebih dahulu. Bisa jadi ia hanya salah paham dengannya.
Tetapi, sisi lain darinya berpikir bahwa jika Xavier menyukainya, ia bisa memanfaatkan itu sepenuhnya untuk menghancurkannya perlahan-lahan. Terlihat sudut bibir Althea yang naik, tersenyum tidak biasa, ia berdecih dan bergumam,
"Tunggu saja, Xavier Ascanius Versace."
✦•┈๑⋅⋯ ࣪˖ ִֶָ𐀔 ⋯⋅๑┈•✦
ー ୨୧﹒TO BE CONTINUED
Don't Forget to Vote~ !!Next Update: 16 June 2024 📌
YOU ARE READING
Whispers of Allure [✓]
Romance"Tunggu, bukankah ini akan menjadi sangat beresiko? Kau adalah seorang vampir, sedangkan aku hanyalah seorang manusia. Seharusnya kita tidak boleh memiliki hubungan ini." Althea, putri dari Kerajaan Etheral, tak pernah menyangka dirinya akan terjer...