✦•┈๑⋅⋯ ࣪˖ ִֶָ𐀔 ⋯⋅๑┈•✦
"Jadi kapan kamu akan membunuhnya, Nak?" Tanya Ibunya yang sudah lama menunggu kabar dari Althea mengenai rencana mereka,
Althea menatap dinding ruangan dilapisi dengan kain sutra berwarna merah tua, dihiasi dengan ukiran-ukiran emas yang rumit. Di atas perapian terdapat lukisan besar yang menggambarkan leluhur keluarga mereka, dengan wajah-wajah yang penuh wibawa dan kebijaksanaan.
Lantai ruangan terbuat dari marmer putih yang mengkilap, dihiasi dengan karpet Persia yang indah. Di atas meja kaca terdapat berbagai macam vas bunga yang terbuat dari kristal, mengeluarkan aroma harum yang menenangkan.
Suasana ruangan terasa tegang dan penuh dengan tekanan. Ibunya Althea duduk di atas kursi sofa yang terbuat dari beludru biru, wajahnya dipenuhi dengan amarah dan kekecewaan. Althea berdiri di depannya, tubuhnya gemetar ketakutan.
Althea menelan ludah dengan gugup, jantungnya berdebar kencang di dadanya. Pertanyaan ibunya bagaikan bom waktu yang siap meledak di hadapannya. Rencana yang telah dia susun dengan rapi selama berbulan-bulan, rencana yang melibatkan nyawa seseorang, kini terasa bagaikan benang kusut yang tak terurai.
"Ibu, aku..." Althea tergagap, suaranya nyaris tak terdengar. Dia mencari kata-kata yang tepat untuk menjelaskan situasinya, namun kata-kata itu tak kunjung muncul.
Dia menundukkan kepalanya, berusaha menyembunyikan rasa panik yang melanda dirinya. Matanya berkaca-kaca, dipenuhi dengan kebimbangan dan rasa bersalah yang tak tertahankan. Bagaimana dia bisa memberitahu orang tuanya bahwa dia telah jatuh cinta pada Xavier, pria yang seharusnya dia bunuh.
Melihat keraguan di wajah putrinya, Ibu Althea melangkah maju, meraih tangannya dengan lembut. Matanya yang tajam menatap Althea dengan penuh selidik.
"Ada apa, Nak? Apakah ada yang salah dengan rencana kita?"
Althea menarik nafas dalam-dalam, berusaha menenangkan dirinya. Dia tahu bahwa dia tak bisa lagi berbohong kepada orang tuanya. Dia harus memberitahu mereka tentang perasaannya yang sebenarnya, meskipun dia tahu bahwa hal itu akan membuat mereka marah dan kecewa.
"Ibu, aku... aku tidak bisa membunuh Xavier," Althea berkata dengan suara lirih, hampir seperti bisikan.
"Apa?! Althea, kamu tahu apa yang harus kamu lakukan, Nak! Kamu tidak bisa membatalkan rencananya!" Ibunya ternganga, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Matanya membelalak penuh amarah.
Althea menggelengkan kepalanya, air matanya mulai mengalir di pipinya.
"Aku tidak bisa, Ibu. Aku... aku telah jatuh cinta padanya."
Suasana ruangan seketika menjadi tegang. Ibu Althea melepaskan tangan putrinya dengan kasar, matanya dipenuhi dengan rasa kecewa dan kemarahan.
"Kau jatuh cinta padanya?!" Teriaknya, suaranya bergema di seluruh ruangan.
"Bagaimana bisa?! Kau tahu apa yang dia lakukan pada keluarga kita! Dia hampir saja menghilangkan nyawa kakakmu, bahkan dia telah membunuh sepupumu sendiri!"
Udara di ruangan terasa panas dan pengap, seolah-olah dipenuhi dengan energi negatif. Cahaya lampu kristal yang biasanya berkilauan kini tampak redup, seperti memantulkan rasa sedih dan pilu yang menyelimuti ruangan.
Setiap kata yang diucapkan oleh Ibu Althea bagaikan pisau tajam yang menusuk hati Althea. Dia merasa tertekan, bingung, dan putus asa. Dia tak tahu harus berbuat apa untuk meredakan kemarahan ibunya.
Althea menundukkan kepalanya lebih dalam, tak kuasa menahan tangisan. Dia tahu bahwa amarah ibunya beralasan. Namun, dia tak bisa memungkiri perasaannya terhadap Xavier. Sejak pertama kali mereka bertemu, Althea telah merasakan sesuatu yang berbeda pada pria itu. Dia melihat kebaikan dan ketulusan dalam diri Xavier, sesuatu yang tak pernah dia temukan pada orang lain.
"Ibu, dengarkan aku.... Aku tahu apa yang dia lakukan salah. Tapi, dia bukan orang jahat." Althea memohon, berusaha meraih tangan ibunya kembali.
"Dia hanya seorang pembunuh, Nak! Dia tidak pantas mendapatkan belas kasihanmu!" Althea terdiam, tak tahu harus berkata apa lagi. Dia terjebak dalam dilema yang sulit. Di satu sisi, dia ingin mengikuti perintah orang tuanya dan membalas dendam. Di sisi lain, dia tak ingin menyakiti Xavier, pria yang telah mencuri hatinya.
Perasaan campur aduk berkecamuk dalam diri Althea. Dia merasa tertekan, bingung, dan putus asa. Dia tak tahu jalan keluar dari situasi ini. Dia hanya ingin kabur, pergi jauh dari semua masalah yang menimpanya.
"Ibu, aku mohon, beri aku waktu untuk berpikir. Aku... aku tidak tahu harus berbuat apa." Althea berkata dengan suara lemah.
Ibunya diam, menatap Althea dengan tatapan tajam. Wajahnya masih terpenuhi dengan amarah dan kekecewaan. Setelah beberapa saat, dia menarik nafas dalam-dalam dan berkata dengan nada dingin,
"Baiklah, Nak. Ibu akan memberimu waktu. Tapi, ingatlah ini. Kamu tak boleh melupakan apa yang dia lakukan. Kamu tak boleh mengkhianati keluarga ini."
Keheningan menyelimuti ruangan setelah Ibunya selesai berbicara. Althea hanya bisa menundukkan kepalanya, tak berani menatap wajah ibunya. Dia merasa hancur, waktu seakan berhenti berjalan di ruangan itu. Hanya suara detak jam dinding yang terdengar memecah keheningan, mengingatkan Althea akan kenyataan pahit yang harus dia hadapi.
Althea mengangguk, air matanya masih mengalir di pipinya. Dia merasa hancur, terjebak dalam situasi yang tak mungkin dia selesaikan. Dia hanya bisa berdoa dalam hati agar dia memiliki kekuatan untuk melewati masa-masa sulit ini.
Tanpa disadari, sejak tadi ada sesuatu yang bermata merah menyala telah mengintai mereka dari balik jendela di ruangan itu.
✦•┈๑⋅⋯ ࣪˖ ִֶָ𐀔 ⋯⋅๑┈•✦
ー ୨୧﹒TO BE CONTINUED
Don't Forget to Vote~ !!Next Update: 21 June 2024 📌
YOU ARE READING
Whispers of Allure [✓]
Romance"Tunggu, bukankah ini akan menjadi sangat beresiko? Kau adalah seorang vampir, sedangkan aku hanyalah seorang manusia. Seharusnya kita tidak boleh memiliki hubungan ini." Althea, putri dari Kerajaan Etheral, tak pernah menyangka dirinya akan terjer...