3

939 75 0
                                    

Hujan rintik-rintik menemani awal hari Naida, mengiringi pagi yang seakan menjadi salah satu hari tersibuknya sejak menikah. Suaminya, Sandi, tiba-tiba saja demam. Padahal kemarin dan semalam ia tampak sangat sehat. Begitu Naida membangunkannya dari tidur, tangannya terkejut saat menyentuh wajah sang suami yang terasa cukup hangat.

Dengan cekatan, Naida pergi ke dapur. Ia menyiapkan makanan hangat—sup sederhana dari jamur dan jagung, demi mengurangi panas tubuh suaminya. Tak butuh waktu lama baginya untuk menghidangkan dua mangkuk sup dan sepiring nasi yang baru selesai dimasaknya. Kedua tangannya membawa nampan dengan tenaga ekstra menuju kamar.

Pintu kamar yang sengaja dibiarkannya tak tertutup rapat, ia dorong perlahan. Tampak Sandi sedang mengenakan kaus dalam dan kemeja, tampilan yang biasa ia pakai ke kantor.

"Kamu masuk kerja, Mas?"

"Iya, Noi. Aku harus bantu rekan tim selesaikan masalah di kantor."

"Badan kamu agak panas lho, Mas. Emangnya nggak pusing?"

"Pusing sedikit. Tapi aku malah lebih pusing kalau nggak kerja. Gajiku bisa jadi taruhan kalau aku seenaknya izin."

Naida menaruh nampan di atas nakas sebelah ranjang, lalu menghampiri Sandi yang sibuk merapikan rambutnya. Ia turut membantu merapikan tampilan suaminya, bahkan mencarikan kaus kaki untuk dipakai.

"Ayo, sarapan dulu. Aku buat sup jamur campur jagung," ajaknya, menggandeng Sandi untuk duduk di pinggir ranjang.

Sandi hanya mengambil sepiring nasi bertabur abon dari nampan, tanpa menyentuh sup yang ada.

"Supnya?" tanya Naida, merasa aneh karena Sandi hanya mengambil nasinya saja.

"Tuang aja ke piring, nih," jawab Sandi.

Naida pun menuang semangkuk sup ke piring yang sudah berisi nasi. "Kuahnya dituang semua, Mas?"

"Iya," angguk Sandi sambil mulai melahap makanan yang telah Naida siapkan dengan kasih sayang.

"Nanti mau minum obat nggak, Mas?"

"Boleh, paracetamol aja," sahutnya di sela-sela suapannya.

*_______*

Setengah jam setelah Sandi berangkat, Naida masih terpaku di depan pintu, memandangi sisa-sisa jejak langkah sang suami menuju luar rumah. Rintik hujan mulai mereda, sinar matahari pelan-pelan menyembul, menyambut hari Senin.

Tidak lama lagi, pernikahannya dengan Sandi akan genap enam bulan. Meski waktu berlalu, perasaan dalam hatinya masih sama. Sandi selalu tahu cara menghapus hambar dalam kehidupan mereka. Ia pun tak berubah, masih sama seperti dulu—masih sama-sama bodoh dalam menyadari bahwa ia sedang menjalani pernikahan yang penuh teka-teki.

*_________*

Di muka bumi ini ia rasa hampir beberapa ilmu pengetahuan memiliki teorinya. Namun ada satu hal di muka bumi ini yang ia rasa tidak memiliki teori yang tetap dan suka berubah-ubah maknanya.

Dirinya adalah bagian dari jutaan manusia yang berstatus miskin. Lahir sebagai anak tunggal dari kedua orangtua yang sudahlah miskin finansial, miskin pula otaknya. Dari lahir ia tidak pernah tahu bagaimana rupa ibu yang telah melahirkannya ke dunia yang penuh sandiwara ini. Ia hanya kenal ayah dan bibi yang merawatnya.

Waktu itu ia masih duduk di bangku sekolah dasar kelas tiga. Ia melakukan kesalahan yang menurut sang bibi luar biasa besar. Semur daging dalam wajan yang memuat satu kilo daging tumpah karenanya. Bibi yang saat itu baru saja membuka kedai nasi sederhana di depan rumahnya langsung memarahinya begitu tahu daging-daging yang dimasaknya sudah menyentuh tanah.

Iya. Dirinya tinggal di rumah bibi yang berada dalam pedesaan. Rumahnya tidak berplafon dan tidak berkeramik. Dapurnya masih tanah, memasak pun masih sering menggunakan kayu karena harga gas menurut bibi sangat mahal.

Hari itu, ia sama sekali tidak diberi makan sampai keesokan siangnya. Salahnya juga karena sok menjadi pahlawan yang awalnya ingin melindungi masakan bibi dari ayam-ayam yang masuk ke dapur, justru ia menyenggol masakan yang masih dalam tungku tersebut.

Bibi marah bukan saat itu saja. Bahkan seingatnya setiap waktu perempuan itu selalu marah dan berkata ketus padanya. Jika ia dirasa membuat perempuan itu jengkel atau kesal. Acap kali bibi menyamakan dirinya dengan sang ibu yang tidak ia ketahui wujud rupanya.

"Nggak ada beda anak sama ibu. Ibunya suka jual murah badannya, anaknya sekarang mau ikutin jejaknya."

"Ibumu itu kerjaannya jual badan sendiri. Nawarin badan sambil pakai baju seksi. Banyak yang kepincut, tapi malah hamil dari laki-laki miskin kayak bapakmu."

"Jangan dekat-dekat anakku lah, kamu kalau mau nakal dan jadi lacur nggak usah ajak-ajak anakku!"

Demi tuhan! Ia tidak pernah tahu jenis pekerjaan tersebut. Menjajakan tubuh atau apapun itu sebutannya yang seringkali bibi katakan. Perkataan itu diucapkan saat ia masih sekolah. Baju-baju mainnya sudah mengecil, bibi jarang membelikannya baju. Katanya ayah sudah jarang mengiriminya uang untuk kebutuhan hidup dirinya bersama bibi.

Bayangkan, kelas tiga SMP ia masih harus memakai baju kelas lima sekolah dasar yang sudah amat ketat di tubuhnya. Namun mau bagaimana lagi, ia tidak punya uang untuk membeli, masa iya mau bertelanjang. Nah, dari situlah perkataan menyakitkan itu selalu di dengarnya.

Apa sih, sebetulnya makna rasa yang banyak orang katakan sebagai kasih sayang? Dalam buku tentang isi yang mengandung kasih sayang saja beberapa pendapat orang hebat didalamnya berbeda-beda. Maknanya berbeda-beda.

Maksudnya, kasih sayang itu dikasihi dan disayangi kah?

Ia tidak tahu. Tapi bersama Sandi, yang menjadi suaminya sekarang, ia selalu merasa dikasihi dan disayangi. Baru pertama kali seumur hidupnya ia merasakan rasa itu.

Rasa itu membuatnya bertahan dalam menjalani hubungan dengan seorang laki-laki asing yang bertemu dengannya di siang hari bolong saat ia tengah membuat adonan risol pesanan ibu RT tempat ia tinggal dulu.

Lamunannya terhenti ketika ia melihat beberapa biji buah jambu air jatuh dari pohon. Hujannya sudah reda, namun anginnya masih terasa cukup kencang meski ia melihat di balik jendela. Semoga licinnya jalanan tidak membuat bahaya sang suami yang tengah berkendara menuju kantor.

Ia mengabaikan jambu-jambu yang menggelinding jauh dari pohon itu. Memilih untuk melanjutkan kegiatannya sebagai istri yang tidak memiliki asisten rumah tangga. Niatnya ingin langsung ke belakang untuk mencuci baju, namun melihat vas bunga yang airnya sudah keruh ia mengambil vas tersebut untuk dibersihkan dan diganti airnya.

Urusan mencuci jadi dikesampingkan terlebih dulu. Lima tangkai bunga anyelir putih ia masukkan kembali begitu ia selesai merawat vas cantiknya. Vas bunga tersebut ia letakkan kembali di tempatnya seraya menaruh harapan bahwa semoga rumah tangganya bisa sesuai dengan makna bunga yang ia rawat dalam vas cantik tersebut.

Sebagaimana orang-orang yang bisa menyampaikan teori dan pendapatnya tentang kasih sayang, seharusnya ia juga bisa, kan, memiliki pendapat tentang makna rasa kasih sayang tersebut?

Yah, pokoknya untuk saat ini, baginya kasih sayang itu adalah dikasihi dan disayangi.

Komposisi Cinta (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang