17

695 55 1
                                    

Naida enggan memusingkan lagi bagaimana kehidupan rumah tangganya setelah ini. Sandi sendiri entah maunya apa dan bagaimana, laki-laki itu tetap diam saja tanpa memberinya penjelasan lebih lanjut. Sebagaimana Sandi yang seperti itu, ia pun akan mengikuti arus Sandi saja. Biar waktu saja yang menjawab apabila terdapat kejanggalan lainnya dalam rumah tangga keduanya.

"Noi, bisa tolong setrika kemejaku yang ini, nggak? Maaf kasitahu mendadak aku lupa kalau hari ini ada rapat di kantor."

Lihat? Kemarin dia meraung tersedu-sedu seperti orang gila, Sandi hanya menawarkan pelukan, memberinya ketenangan dengan kata-kata manis, tanpa mau menjelaskan semuanya seperti yang ia harapkan.

Diambilnya kemeja yang laki-laki itu sodorkan padanya. Meninggalkan dapur, ia pergi ke belakang melaksanakan titah Sandi.

Soal kalung yang ia temukan, disimpan Sandi. Entah akan dijual, diberikan lagi pada orangnya atau kemungkinan besar disimpan rapi karena status kalung itu untuk orang penting di hidupnya. Cih! Kalau nyatanya perempuan itu masih bagian dari orang penting dalam hidupnya, kenapa ditinggalkan? Kenapa tidak sekalian hidup bersama saja? Kalau seperti itu, Sandi tidak menjadikan dirinya sebagai korban.

"Nggak perlu terlalu rapi, Noi. Asal nggak kelihatan kusut aja," ucap Sandi dari ambang pintu, menunggunya di luar ruangan.

Ia menyerahkan kemeja yang telah licin setelah disetrikanya. Kali ini, ia memutuskan untuk tidak membantu memakaikan kemeja itu, sebagaimana biasanya. Suasana hatinya masih berantakan. Kalau ia memaksakan diri, bukannya membantu, mungkin malah tangannya akan mencabik-cabik tubuh Sandi daripada memakaikan kemeja dengan lembut.

"Terima kasih, Noi," kata Sandi dengan nada yang terdengar tenang, seolah tak menyadari badai kecil yang tengah bergejolak dalam hati istrinya.

"Aku berangkat, ya. Ingat kata Mami kemarin, jangan dulu banyak kegiatan hari ini," lanjut Sandi seraya mendekatinya. Dengan gerakan cepat, ia mengecup puncak kepala Naida. Naida tertegun sejenak. Ia tidak sempat menghindar, dan pada akhirnya, ia membiarkannya. Tidak apa, pikirnya. Ia tidak ingin memulai drama di pagi hari hanya karena enggan menerima ciuman dari suaminya sendiri.

*_____*

Suara bel rumah yang tidak henti berbunyi terjadi di rumah Arif pada sore hari. Tamu tak diundang dengan penampilan kusut bak orang punya hutang milyaran berdiri di depan pagar rumahnya.

"San?"

"Mau numpang ngopi, Rif, boleh nggak?"

"Ya Allah, masuklah masuk. Timbang ngopi doang sampe harus numpang di rumah gua lo. Si Noi kagak bisa bikinin kopi apa di rumah?"

Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut temannya itu. Yah, palingan laki-laki itu datang kesini akan membuang keluh kesahnya di tempat bekerja. Seperti yang biasa dilakukan.

Diajaknya Sandi untuk duduk di kursi teras. Sang istri yang selalu baik hati, tidak lama datang memberikan sajian juga kopi yang diminta tamu agung ini. Dilihatnya Sandi menyugar rambutnya berkali-kali. Sefrustasi apa memangnya laki-laki itu?

"Kenapa sih kenapa? Coba cerita."

"Noi tahu."

"Tahu apaan?"

"Dia nemu kalung."

"Kalung apaan?"

"Ternyata gua masih sering nyebut nama Nindy."

"Nggak ngerti gua, San. Coba pelan-pelan yang runtut jelasinnya, otak gua kagak nyampe kalo lo ngomongnya setengah-setengah gitu."

Sandi mulai memaparkan segala keluh kesahnya yang ternyata bukan soal kerjaan. Dapat disimpulkan, rumah tangga temannya itu sedang dalam keadaan keruh.

Komposisi Cinta (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang