"Masih sakit perutnya?"
"He em."
"Ya udah, nggak apa-apa dinner-nya besok-besok lagi aja."
"Nggak mau, aku maunya sekarang."
"Katanya perut kamu masih sakit? Nggak perlu dipaksa, kita istirahat lagi aja, makan malam di rumah seperti biasa."
"Nggak mau, Mas. Kamu kan, udah booking."
"Bisa dibatalin, kok."
"Tunggu sebentar lagi, perut aku pasti bakal enakan lagi, Mas."
"Oke, kita tunggu sebentar."
Keduanya sudah siap berangkat, namun mendadak Naida ribut sakit perut. Bolak-balik ke toilet ada mungkin sudah tiga kali. Sandi sendiri sebenarnya enggan melanjutkan kegiatan makan malam di luar melihat Naida masih meringis tak karuan.
"Minggu depan lagi aja ya, Noi."
Sorot mata tidak terima didapatkannya. "Bener ya, Minggu depan kita jadwalin dinner lagi."
"Iya, nanti aku booking lagi. Sekarang kita makan di rumah aja, biar aku yang masak sekarang."
Perkataan Sandi yang baru saja terucap membuat Naida riang kembali. Namun Sandi menuntunnya untuk duduk di kasur, alih-alih mengajaknya ke dapur.
"Rebahan sebentar ya, aku olesin minyak herbal biar perut kamu agak rileks," ucap Sandi begitu selesai menuntun sang istri ke ranjang.
Naida menurut, berdiam diri di tengah kasur menunggu Sandi mengambil minyak herbal yang biasa keduanya pakai jika sedang pusing atau meriang.
Sandi datang lagi, mendudukkan diri di sebelahnya. Dress hitam yang dikenakannya disingkap oleh Sandi, menampakkan perutnya yang menjadi biang kerok gagalnya rencana makan malam di luar.
"Sakitnya nyeri kayak lagi haid atau kayak lagi diare gitu sih, Noi?"
"Melilit, perih, nggak kayak lagi pengen buang air. Apa karena aku makan sambal terus-terusan ya beberapa hari yang lalu?"
"Aku kan, udah bilang, kurangi makan yang pedas-pedas. Kemarin juga kamu buat tumis kangkung cabenya banyak banget."
"Biasanya nggak kayak gini, kok."
"Ya ini efeknya, nggak akan langsung kerasa setelah kamu makan kemarin. Buktinya perut kamu ngambek sama yang punyanya sekarang, dia lagi protes ini. Rasa sakit yang kamu rasain ini sebagai bentuk protes perut kamu yang dijejali makanan pedas terus," cerocos Sandi menasihati sang istri yang bebal sekali untuk mengurangi makanan pedas.
"Ih kurang enak tahu, Mas, kalau makan tapi menunya nggak pedas."
"Lebih nggak enak mana sama rasa sakit perut yang kamu rasain sekarang?"
"Iya ih! Ngomel-ngomel terus kamu, Mas."
"Kamu kalau nggak diomelin nggak akan mau dengar dinasehati begini, Noi."
Sandi mulai mengusap lembut perutnya dengan minyak. Aroma herbal menggantikan wangi parfum yang telah ia semprot pada tubuhnya.
"Yah, aku jadi bau nenek-nenek."
Sandi hanya tersenyum mendengar gumaman sang istri. Naida memang kurang suka dengan minyak-minyak seperti ini. Jika dirinya sakit, Naida enggan mengolesi dirinya dengan minyak itu. Menyuruhnya selalu untuk mengolesi sendiri.
"Udah ah, kamu banyak banget olesin minyaknya, Mas," tegur Naida dengan menepuk tangannya yang berada di atas perut.
"Iya ini udah, kok," menanggapi permintaan Naida, ia menyudahi kegiatannya, menutup kembali perut dengan dress hitam yang cantik sekali dikenakan olehnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Komposisi Cinta (END)
RomanceSegala kebaikan yang ada di muka bumi ini, Naida rasa Sandi memilikinya. Lebih dari sekadar seorang suami, Sandi seperti malaikat. Ya, begitulah yang ia rasa selama menjalani hubungan dengan Sandi. Selama enam bulan pernikahannya dengan Sandi, Naid...