26

879 50 0
                                    

"Mas, waktu di rumah sakit kamu nangis, emangnya nangisin apa? Aku boleh tahu nggak? Kamu nangisin aku yang keguguran atau karena masih panik lihat aku berdarah?"

"Dua-duanya."

"Kamu nangisin anak kita juga? Bukannya kamu bilang nggak mau punya anak?"

"Siapa yang bilang nggak mau punya anak?"

Memang, Sandi tidak pernah secara langsung mengatakan bahwa dia tidak ingin punya anak. Tapi caranya merespons pembicaraan soal anak selalu terdengar setengah hati, membuat Naida berasumsi dia tidak benar-benar menginginkannya.

"Berarti kamu mau punya anak, Mas?"

"Iya, mau. Aku bahkan udah buat desain kamarnya. Kamar kosong di depan itu, aku niatkan jadi kamar anak."

"Oh ya? Sebenarnya aku mau ngomong dari waktu itu, sebelum kita berantem karena kalung."

"Ngomong apa?"

"Kalau aku mau lepas KB. Aku juga minum sedikit-sedikit jamu yang mami kasih, tapi aku nggak bilang ke kamu. Aku takut lihat reaksi kamu, soalnya aku pikir kamu nggak mau punya anak. Soalnya kalau aku ajak bahas soal anak, kamu selalu jawabnya, 'iya gimana sedikasihnya Allah aja.' Seolah-olah kita nggak perlu usaha yang aneh-aneh, kalau dikasih ya diterima, kalau nggak, ya nggak apa-apa."

"Aku juga sebenarnya lupa bilang, aku udah buat desain kamar anak. Tapi kemarin-kemarin, kadang aku masih ragu, Noi."

"Ragu?"

"Hm, aku bodoh, ya? Seharusnya keraguan itu nggak pernah ada. Mau punya anak sama kamu aja kenapa aku bisa seragu itu." Sandi terkekeh, sedikit menertawakan dirinya sendiri.

"Berarti kamu nggak seutuhnya percaya sama aku, Mas. Atau, kamu nggak seutuhnya cinta aku. Kalau masih ragu gitu, pasti kamu masih kebayang-bayang Nindy, kan? Kamu pasti mikirnya 'aduh aku harusnya punya anak sama Nindy nih, bukan sama Naida.' Iya, kan?"

"Enggak, Noi."

Alasan keraguannya bukan itu. Di lubuk hatinya, ia hanya bimbang karena janji-janji yang pernah ia ucapkan pada Nindy, janji untuk sehidup semati. Ia merasa, jika memiliki anak dengan Naida, maka takdirnya akan terikat selamanya dengannya—sesuatu yang dulu pernah ia bayangkan untuk Nindy. Namun, bukankah memang sudah seharusnya begitu? Bukankah hidupnya sekarang ada bersama Naida, dan ia sudah memilih jalannya? Mengapa masih ada keraguan di sana?

Ia menatap Naida, sadar bahwa perasaan terhadapnya telah tumbuh lebih kuat dari yang pernah ia bayangkan. Tapi keraguan kecil itu, yang dulunya seperti bayangan, kini mulai memudar di hadapan kesadaran akan cinta yang tulus.

"Maaf kalau aku sempat bikin kamu merasa nggak cukup. Aku pengin kamu tahu, aku siap jadi ayah dan menjalani hidup ini bareng kamu, tanpa keraguan lagi."

*________*

Sandi terbangun dari tidurnya dan mendapati tempat di sebelahnya kosong. Dengan sedikit rasa khawatir, ia bangkit dari tempat tidur dan langsung menuju dapur, tempat yang biasanya menjadi tujuan utama Naida di pagi hari.

Namun, tidak ada siapa-siapa di sana.

Dengan rasa cemas yang mulai meningkat, Sandi mempercepat langkahnya menuju halaman belakang. Tapi, lagi-lagi, ia tidak menemukan Naida di sana.

Akhirnya, ia berjalan ke depan rumah. Dan di situlah ia melihat Naida sedang menyambut tamu, ternyata asisten rumah tangga maminya yang datang sesuai instruksi mami.

"Noi?"

"Mas, ini Mbak udah datang, tapi kita malah baru bangun," ujar Naida dengan cengiran kecil di wajahnya, berdiri di depan Mbak Tris yang sudah rapi dan siap bekerja.

Komposisi Cinta (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang