Eksperimen pie buah yang dilakukannya hari ini membuahkan hasil sempurna. Tangannya kini lihai mengotak-atik pengaturan kamera ponsel demi menangkap gambar pie dengan tampilan yang cantik.
Sebetulnya, eksperimen ini sudah ia rencanakan sejak beberapa hari yang lalu. Namun, suasana hatinya yang kacau selama tiga hari terakhir membuatnya malas untuk melakukan apa pun. Beruntung, hari ini suasana hatinya mulai membaik. Satu pesan singkat dari Sandi siang tadi berhasil membangkitkan semangatnya.
From: Mas Sandi
Hari ini kamu buat kue nggak, Sayang?
Sayang?
Sayang?
Kata yang berhasil buat ia cengar cengir tidak karuan selama membuat pie. Padahal tiga hari yang lalu ia kesal sekali dengan kata itu. Jadi begini ya, cara Sandi mengembalikan moodnya untuk tidak berlarut-larut dalam amarah dan kesedihan.
Dia dan Sandi jarang sekali marah sampai yang berhari-hari sebelumnya. Pun Sandi juga bukan tipe orang yang begitu menjengkelkan. Lagi, Sandi selalu menjadi yang mengalah jika mereka ada sedikit perseteruan-perseteruan ringan.
Dia tidak menjawab pesan dari Sandi. Sengaja ingin memberinya kejutan dengan menu yang pertama kali ia buat ini.
Beberapa foto yang berhasil ia potret diunggahnya pada status WhatsApp. Pamer sedikit atas keberhasilan ini tidak apa-apalah. Siapa tahu ada yang kepincut ingin order pie buah cantik ini. Kepuasan masaknya tersalurkan, dapat bonus uang pula jika ada yang pesan.
Dinyalakannya musik dari aplikasi premium yang Sandi bayar untuk menemani dirinya bersih-bersih dapur bekas ekperimen. Dulu saat ia belum menikah dengan Sandi, bersih-bersih dapur kontrakan hanya ditemani iringan musik dari salon tetangga. Boro-boro bisa bayar aplikasi premium, ponselnya bahkan tidak bisa mengunduh aplikasi tersebut. Penyimpanannya penuh terus. Padahal isinya hanya foto-foto karya makanan buatannya. Maklum sih, di zaman ponsel yang sudah bermacam-macam jenisnya ia hanya mampu beli yang bekas. Sayang duit! Karena sehari-hari hasil bersih dari jualannya paling cukup untuk ia self-reward ke pasar malam. Boro-boro mikir ganti ponsel, kalau Naida sih yang penting setiap minggu bisa ikut rasain euforia naik bianglala dan kora-kora versi low budget.
Tahu sendiri, masa kecilnya tinggal di kampung, tempat hiburan nggak ada, mau ke pasar pun jauh bukan main. Kalaupun ada bianglala yang lima ribuan per lima menit, pastilah ia tidak akan diizini bibi untuk naik.
Lantunan nada beriringan dengan suara merdu Tiara Andini menambah syahdu suasana hatinya yang sedang riang tak terkira. Diliriknya jam dinding, setengah jam lagi suaminya pulang. Gegas ia berbenah lebih cepat, dirinya belum mandi soalnya.
Sandi nggak masalah sih sebenarnya jika laki-laki itu datang dan ia belum mandi. Justru Sandi selalu senang karena bisa ajak mandi bersama katanya. Tapi ia ingat pesan Mami, kalau suami datang usahakan sudah rapi dan cantik. Bikin yang disambut kedatangannya bakal nggak sabar untuk pulang dari kantor seterusnya karena pengen lihat istrinya nyambut dengan cantik.
*_________*
"Tebak kue apa yang ada di bawah tudung saji ini?" tanya Naida sambil menarik Sandi ke dapur.
Mereka kini berdiri di depan meja makan, mengamati tudung saji cokelat yang menyembunyikan sesuatu di bawahnya.
"Brownies?" tebak Sandi, matanya menyipit seolah ingin menerka lebih pasti.
"Yakin?"
"Nggak sih. Em... bolu pisang? Eh, cheesecake deh kayanya."
"Jadi apa jawaban pastinya?" tanya Naida dengan senyum penuh antusias.
"Cheesecake aja deh," jawab Sandi akhirnya.
Naida perlahan membuka tudung saji, memamerkan hasil eksperimennya. "Tadaaa! Bukan cheesecake, kamu salah," ujarnya girang.
"Pie buah? Kamu bisa bikin pie buah, Noi?" Sandi tampak terkejut sekaligus kagum.
"Iya, ini eksperimen pertama aku, dan langsung berhasil! Keren nggak aku?"
Dua jempol diberikan Sandi sebagai penghargaan. Meski terlihat senang, Naida menyadari ekspresi suaminya tidak seantusias biasanya.
"Keren banget... tapi, maaf, Noi, aku kurang suka pie buah," ucap Sandi jujur, membuat semangat Naida mendadak ciut.
"Hah? Serius? Kok kamu nggak pernah bilang kalau nggak suka pie buah?" tanyanya kecewa.
"Mungkin pie buah buatan kamu beda. Aku coba dulu, ya?" Sandi berusaha mengambil potongan pie di piring.
"Enggak, tunggu dulu! Kenapa kamu nggak suka? Jelasin dulu alasannya," pintanya tegas.
"Dulu, waktu kecil, aku pernah makan pie buah yang Mami beli di pasar. Rasanya asem, kecut, terus berlendir gitu. Nggak enak pokoknya. Sejak itu, aku nggak mau makan pie buah lagi. Tapi kalau pie susu, aku masih suka."
Naida tersenyum kecil, merasa lega mendengar alasan itu. "Kayaknya pie yang kamu makan waktu itu udah basi. Buahnya juga pasti nggak segar. Tapi, kalau pie buatan aku ini beda! Bahannya premium. Cobain deh, sedikit aja."
Sandi mengangguk, akhirnya mengambil potongan kecil dan mencicipinya. Naida menahan napas, cemas akan reaksi suaminya. Namun, Sandi mengangguk puas setelah gigitan pertama.
"Enak! Rasanya beda banget dari pie buah yang pernah aku coba dulu. Teksturnya juga pas. Kamu keren banget, Noi, sekali bikin langsung sempurna."
"Beneran? Jadi sekarang kamu suka pie buah?" tanyanya penuh harap.
"Suka... tapi cuma yang buatan kamu," jawab Sandi sambil mengambil potongan lain.
Naida tersenyum lebar, perasaan bangga memenuhi hatinya. "Mau aku buatkan teh tawar?" tawarnya.
"Aku udah buat. Sebentar, aku ambil," lanjutnya sebelum Sandi sempat menjawab.
Setelah menuang secangkir teh tawar, Sandi meneguknya perlahan. "Aku udah booking restoran. Kita berangkat jam setengah tujuh, ya?"
Naida ragu. "Kamu nggak capek? Baru aja pulang kerja, langsung harus nyetir lagi."
"Enggak, santai aja. Kita jalan pelan-pelan," jawab Sandi sambil melepas kancing kemejanya.
Naida menuang teh untuk dirinya sendiri, menambahkan sedikit gula. Dia memperhatikan Sandi yang kini sibuk menyibak rambutnya ke belakang.
"Kamu udah mandi, Noi?" tanya Sandi tiba-tiba.
"Udah. Dan aku nggak mau mandi lagi. Baru aja selesai lima menit sebelum kamu datang," jawabnya sambil tersenyum kecut.
"Aku cuma nanya kok. Tapi kalau kamu mau mandi lagi, bisa aja bareng aku," godanya.
Sandi mendekat, berdiri di belakang Naida, lalu memeluknya dengan lembut. Kecupan-kecupan kecil berlabuh di lehernya, sementara tangan besar Sandi menyusup masuk ke dalam bajunya.
"Enggak, Mas! Aku nggak mau mandi lagi," Naida berusaha menghindar sambil tertawa kecil.
"Ini baju apaan sih? Tipis banget bahannya," bisik Sandi, suaranya menggelitik di telinga Naida.
"Apa sih? Aku udah sering pakai ini kok, baru sekarang kamu komentar," jawabnya sembari mendorong Sandi pelan.
Sandi tertawa kecil, akhirnya mundur sambil mengangkat tangan. "Udah deh, nanti keterusan. Kamu udah bilang nggak mau mandi lagi soalnya."
Saat Sandi berbalik untuk pergi, Naida spontan menarik kerah kemejanya dan memberikan satu ciuman.
KAMU SEDANG MEMBACA
Komposisi Cinta (END)
RomanceSegala kebaikan yang ada di muka bumi ini, Naida rasa Sandi memilikinya. Lebih dari sekadar seorang suami, Sandi seperti malaikat. Ya, begitulah yang ia rasa selama menjalani hubungan dengan Sandi. Selama enam bulan pernikahannya dengan Sandi, Naid...