Makan malam kali ini dihadiri oleh tiga orang di meja makan. Mereka berdua mengajak Mbak Tris untuk turut menikmati hidangan. Semua menu yang tersaji adalah hasil olahan tangan Mbak Tris.
Sandi mulai menyuapkan makanan ke mulutnya. Rasanya agak berbeda, karena biasanya ia menyantap masakan Naida. Dulu, saat ia masih tinggal bersama Mami, masakan Mbak Tris adalah yang paling lezat di rumah. Namun, sejak terbiasa dengan keahlian memasak Naida, selera Sandi seolah telah meningkat. Kini, masakan Mbak Tris terasa tak seistimewa dulu dibandingkan dengan masakan Naida.
Baru beberapa menit mereka bertiga menikmati makan malam, tetapi Mbak Tris lebih dulu beranjak dari meja.
"Saya duluan, ya, Mas Sandi, Mbak Nai. Alhamdulillah, udah kenyang. Ke belakang dulu, Mbak. Nanti kalau butuh sesuatu, panggil aja, ya."
"Nggak nambah, Mbak?" tawar Naida.
"Udah cukup, Mbak. Tadi saya udah ambil banyak."
Tanpa ragu, Mbak Tris pun meninggalkan meja makan.
Sandi meletakkan sendoknya, menyudahi makannya. Setelah memastikan Mbak Tris tak lagi terlihat, ia membuka pembicaraan dengan suara rendah.
"Noi, bisa tolong buatkan aku telur dadar?"
"Lho, kenapa tiba-tiba, Mas?" tanya Naida, agak terkejut.
"Aku kangen masakan kamu."
"Biasanya kamu suka-suka aja makan ikan goreng, kan?"
"Tapi nggak seenak buatan kamu."
"Ssst... pelan-pelan, Mas. Nggak enak kalau didengar Mbak Tris."
"Noi..."
"Iya, iya... Aku buatkan sekarang."
"Makasih, sayang."
Naida tak butuh waktu lama untuk membuatkan telur dadar, bahkan ia menambahkan sambal kecap sebagai pelengkap.
"Nasinya mau diganti juga, Mas?" tanyanya.
"Enggak perlu kalau nasinya."
"Mau pakai kerupuk, nggak?"
"Ada?"
"Ada, mau?"
"Boleh."
Naida mengambil kerupuk dari lemari makan dan meletakkannya di hadapan Sandi.
"Terima kasih, Noi."
Naida hanya tersenyum, lalu mengusap kepala Sandi dengan lembut, merasa gemas melihat tingkah manjanya. Ia pun melanjutkan suapannya setelah memastikan Sandi tidak meminta apapun lagi.
"Enak banget, Noi."
"Masakan Mbak Tris, kan?"
"Enggak, masakan kamu yang paling enak."
"Mbak Tris juga masakannya enak, lho, Mas."
Sandi menggeleng cepat, mengabaikan pendapat itu, sambil terus melahap masakan yang Naida buat.
Naida terkekeh pelan, melihat betapa puasnya Sandi menikmati hidangan darinya.
Naida suka. Suka sekali ketika Sandi bersikap seperti itu, membuatnya merasa dibutuhkan, meski hanya untuk menu sederhana yang ia masak. Terlebih, Sandi tak pernah lupa menyisipkan pujian, seolah benar-benar menghargai setiap usaha kecilnya di dapur. Tapi, ada hal lain yang masih sering menghantuinya. Bukankah sebelum ada dirinya, pujian-pujian itu juga pernah ditujukan Sandi kepada Nindy? Seolah apa yang ia terima sekarang hanya sisa-sisa dari masa lalu. Ah, kenapa pikiran-pikiran seperti itu selalu menghantui? Bukankah ia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk tak lagi peduli pada hubungan Sandi yang sudah berlalu?

KAMU SEDANG MEMBACA
Komposisi Cinta (END)
RomantikSegala kebaikan yang ada di muka bumi ini, Naida rasa Sandi memilikinya. Lebih dari sekadar seorang suami, Sandi seperti malaikat. Ya, begitulah yang ia rasa selama menjalani hubungan dengan Sandi. Selama enam bulan pernikahannya dengan Sandi, Naid...