Sejak kecil, dia tak pernah bermimpi menjadi orang kaya, cantik, atau serba bisa. Bukan karena ia merasa tak pantas, miskin, atau tidak berbakat, tapi karena bibi selalu berkata bahwa mimpi itu milik mereka yang beruntung. Orang miskin sebaiknya tidak terlalu tinggi mengkhayal, cukup dengan hidup apa adanya, katanya.
Namun, saat kelulusan sekolah menengah atasnya tiba, sesuatu berubah dalam dirinya. Ia memutuskan merantau ke Jakarta, bukan untuk mengejar mimpi-mimpi indah seperti yang dilakukan banyak orang, tapi untuk satu tujuan yang lebih sederhana, bertemu dengan ayahnya. Desas-desus dari tetangga-tetangga mengatakan bahwa sang ayah tinggal dan bekerja di Jakarta. Rindu yang menggebu itu, selain ingin bertemu, ia juga berharap bisa mendapat bantuan untuk mencari pekerjaan. Mungkin, jika ia bertemu dengan ayahnya, segala yang sulit akan terasa lebih mudah.
Namun, ia lupa satu hal yang penting. Mencari sosok yang tak pernah ia kenal seumur hidup, adalah sesuatu yang jauh lebih rumit daripada yang ia bayangkan. Ia hanya mengandalkan ciri-ciri fisik yang diceritakan tetangga, padahal waktu telah berjalan begitu lama. Siapa yang tahu, mungkin ayahnya sudah berubah, fisiknya tak lagi sama seperti yang mereka ingat.
Langkah pertama yang ia ambil keluar dari stasiun terasa kecil, namun begitu sarat dengan keraguan. Tidak ada impian besar yang melangkah bersamanya, hanya syukur karena akhirnya ia bisa sampai di ibukota dengan selamat. Setiap detik perjalanan itu, adalah perjalanan terjauh yang pernah ia tempuh.
"Es cendol!!!! Lima ribuan!!!"
"Es cendolnya neng, es cendol..... lima ribuan aja segelasnya...."
"Mangga atuh neng, dicoba es cendolnya...."
Kata orang memang benar, terik matahari di Jakarta itu berbeda. Udara yang menyengat ini, tak sama dengan yang ia kenal. Ia berhenti sejenak, menatap gerobak es cendol yang menggoda, terlihat begitu menyegarkan di tengah panas yang membakar.
"Boleh Mang, es cendolnya satu, di bungkus aja..."
Lima ribu pertama ia keluarkan, untuk menyejukkan tenggorokan yang kering. Si penjual, yang sudah terlihat sepuh, masih sigap dengan tangannya yang cekatan mengambil es, air gula, dan santan. Pakaian yang ia kenakan rapi, modis bahkan, jauh berbeda dengan amang-amang penjual es cendol di kampungnya. Ah, mungkin di Jakarta memang begitu, berjualan pun harus tampil menarik. Siapa tahu, ada pegawai kantoran atau bahkan menteri yang mampir membeli, bukan?
Setelah dari sini, ia tak tahu harus ke mana. Langkah-langkahnya terhenti di tengah kota yang ramai, cuaca yang terik semakin membuatnya merasa kehilangan arah. Namun, saat matanya melirik ke arah masjid yang tak jauh dari situ, ia merasa berteduh di sana bukanlah pilihan yang buruk. Setidaknya, di sana ada ketenangan, jauh dari hiruk pikuk yang seolah tak ada habisnya.
Saat menyesap es cendol yang manis dan segar itu, ia tidak bermimpi atau berimajinasi tentang masa depan yang gemerlap, apalagi menjadi istri dari seorang pria kaya dan baik hati. Jakarta, dengan segala kehiruk-pikukannya, memberinya banyak pelajaran, tapi ada satu hal yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Tentang rasa terima kasihnya yang begitu besar pada kota ini, karena telah mempertemukannya dengan Sandi. Tak tahu bagaimana caranya, yang jelas pertemuan itu adalah anugerah yang begitu dalam.
*_____*
Waktu demi waktu berlalu begitu cepat. Nasi bakar yang ia buat sejak pagi akhirnya selesai, tepat sesuai dengan estimasi waktu yang telah direncanakannya. Sandi selalu mengingatkan untuk tidak melupakan waktu istirahat jika tubuh sudah mulai lelah, dan kali ini ia benar-benar mengikutinya. Di tengah kesibukan memasak, ia menenangkan diri sejenak, memberi ruang bagi tubuhnya untuk mengumpulkan energi lagi.
Setelah semua selesai, ia segera membersihkan dapur dan peralatan yang telah ia gunakan, membuat semuanya kembali rapi dan bersih. Tak lupa, ia menghubungi Chef Andri, sang pemesan nasi bakar, untuk memberitahukan bahwa pesanannya sudah siap diambil.

KAMU SEDANG MEMBACA
Komposisi Cinta (END)
RomanceSegala kebaikan yang ada di muka bumi ini, Naida rasa Sandi memilikinya. Lebih dari sekadar seorang suami, Sandi seperti malaikat. Ya, begitulah yang ia rasa selama menjalani hubungan dengan Sandi. Selama enam bulan pernikahannya dengan Sandi, Naid...