Usapan lembut di rambutnya masih terasa hangat, mengingatkan pada kelembutan yang diberikan Sandi setengah jam lalu. Sejak itu, Naida sudah merebahkan diri di kasur, mencoba mengalihkan pikirannya dengan game di ponsel. Level permainan yang sudah tinggi itu sedikit menghiburnya dari huru-hara yang terjadi kemarin.
Sandi duduk di sebelahnya, tapi entah mengapa, ia terasa berbeda. Biasanya, Sandi akan sibuk dengan pekerjaan atau rutinitas lainnya, tapi kali ini, ia malah memilih duduk dan memainkan helai rambut Naida dengan lembut, seolah mencoba menawarkan kenyamanan di tengah ketegangan yang ada. Keheningan itu membingungkan, Naida merasa canggung. Ada jarak yang tercipta, meski Sandi seolah biasa-biasa saja. Setiap kali pulang kerja, Sandi masih bertanya soal makanan yang ingin dititip untuk dibelikan dan masih memuji masakannya. Hanya saja, ada sesuatu yang tidak terucapkan di antara mereka, sesuatu yang masih menggantung.
"Noi...? Jangan terlalu lama main game-nya, udah malam," ujar Sandi, memecah keheningan.
Naida melihat ponselnya, hanya tinggal sedikit lagi level yang harus diselesaikan. Namun, mendengar suara Sandi yang lembut memintanya berhenti, ia memutuskan untuk menuruti. Sambil merasa enggan, ia meletakkan ponsel di atas nakas dan menarik selimut, berbalik badan. Ia pikir, Sandi akan merebahkan diri dengan posisi telentang atau memunggunginya. Namun, begitu berbalik, ia mendapati tatapan lembut dari Sandi yang tertuju padanya. Ada kehangatan dalam tatapan itu, meski ia merasa aneh dan canggung.
Sebelum masalah itu datang, ia tak bisa tidur tanpa dekapan hangat Sandi. Selama dua malam terakhir, meskipun tidur terasa lebih nyenyak dalam dekapan itu, ia merasa seperti ada sesuatu yang hilang, ada jarak yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.
Naida berusaha terlihat biasa saja. Merebahkan dirinya dengan posisi berhadapan dengan Sandi, meskipun hatinya terasa penuh dengan perasaan yang tak terucapkan.
"Besok kita dinner di Galaxy yuk, Noi," ajak Sandi tiba-tiba.
"Udah booking emang?"
"Belum, bisa dadakan kok, nanti aku hubungi owner-nya."
"Tumben?"
"Nggak apa-apa, udah lama juga kita nggak makan malam di luar."
"Aku nggak ikutlah, kamu aja sana," tolak Naida yang seketika membuat Sandi mengerutkan alisnya.
"Kok gitu?"
"Lagi nggak pengen aja makan di luar."
"Udah tiga hari, Noi, nggak baik marah-marahan lama-lama."
"Udah tiga hari, Mas, aku nunggu kamu cerita."
"Sekarang udah siap?"
"Dari tiga hari yang lalu juga aku udah siap." Apa maksud pertanyaan laki-laki itu? Ada juga dia yang perlu bertanya seperti itu pada Sandi.
"Bukan gitu, aku nunggu suasananya tenang. Biar nggak begitu terasa emosional dari diri kitanya."
Cih! Semakin kurang ajar saja suaminya itu. Berarti kejadian kemarin, yang ia menangis tersedu-sedu, mengomel-ngomel brutal itu, betul-betul tidak ada harganya di mata Sandi? Menjadikan suasananya emosional, katanya.
"Secara nggak langsung kamu ngatain aku, tenang aku nggak akan se-emosi kemarin."
"Nindy mantan pacarku. Hubungan kami dimulai saat aku masih duduk di bangku awal perkuliahan. Nindy dua tahun lebih tua dariku. Kami berencana menikah. Tepat di hari lamaran, kejadian tragis terjadi. Nindy kecelakaan saat menuju restoran tempat kami akan melangsungkan lamaran. Itu tahun 2018. Hubunganku dengan Nindy selesai, tepat ketika informasi kematian Nindy diumumkan."
Satu kecupan di dahi diberikan oleh Sandi, menyalurkan rasa tenang pada Naida yang tengah fokus mendengarkan ceritanya.
"Kejadian itu bikin aku shock bukan main, sampai terjadi hal-hal yang nggak terduga pada diriku sendiri. Mami juga sampai drop karena itu. Selang beberapa bulan, Papi nyusul Nindy. Keadaan makin runyam karena kondisi Mami juga makin buruk. Pun, begitu pula aku. Arif yang nolong kami, bolak-balik dia temani Mami kontrol. Gantian dengan saudara yang lain. Arif juga yang mengenalkan aku dengan psikolog, yang sampai saat ini masih berkomunikasi denganku."
"Kenapa nggak cerita dari dulu pas kita masih pedekate-an?"
"Nanti kamu nggak mau nikah sama aku, Noi."
"Nggak jelas! Ya enggaklah, kalau dari awal ceritanya kan kemungkinan besar aku akan lebih memahami kamu."
"Lebih besar kemungkinan kalau kamu bakal tinggalin aku sih, Noi. Kalau udah menikah begini, kamu marah atau ngamuk pun kamu masih bisa aku peluk supaya nggak kemana-mana. Pas pedekate-an kan kamu anti dipeluk banget, risiko aku ditinggal jauh lebih besar."
Agak lucu sebetulnya mendengar alasan Sandi yang demikian. Usia keduanya sudah matang saat melakukan pendekatan, tidak mungkin ia sampai berperilaku seperti apa yang dikhawatirkan oleh Sandi. Apalagi saat pendekatan itu, perasaan sukanya pada Sandi sangat menggebu-gebu.
"Jadi Nindy-Nindy itu udah meninggal? Terus kalung itu betulan punya kamu untuk Nindy?"
Naida kira Nindy itu masih ada, bahkan pikirannya mengira jika Sandi masih menemui perempuan itu sampai saat ini. Ternyata sudah meninggal, sebuah kenyataan yang jauh dari prasangkanya.
"Iya, kalungnya punya aku, masih hak milik aku. Kemarin aku cari di gudang niatnya mau dijual, soalnya setelah sekian lama aku baru nemu bukti pembeliannya di salah satu kemeja yang lama nggak aku pakai."
"Terus, sekarang kamu masih kangen sama Nindy?"
"Enggak, Noi, enggak."
"Bohong, ya? Aku mau lihat foto Nindy, ada nggak?"
"Nggak ada, udah aku pindahin ke flashdisk, nggak tahu flashdisk-nya aku taruh mana."
"Bohong, pasti kamu ada arsipkan di akun google? Atau di handphone kamu, kamu pisahin ke ruang terkunci? Masa iya nggak tersisa satu pun di handphone kamu?" Tuntutnya pada Sandi, yang tangannya sudah memaksa meraih tubuhnya untuk didekap.
"Kemarin kamu buka isi handphone aku, nggak sekalian otak-atik akun google dan isi galeriku emang?"
"Enggak."
Kecupan di dahi kembali berlabuh.
"Udah ceritanya, kalau ada pertanyaan atau hal lain, bisa kita bahas besok lagi."
"Aku belum mau selesaiin ceritanya. Kamu masih harus jawab semua rasa penasaran aku!"
"Apa lagi yang bikin kamu penasaran, Naida?"
"Ruang kosong yang di depan? Itu kamu kosongin karena dijadikan ruang spesial bekas Nindy?"
"Noi... nggak gitu, dulunya memang sering Nindy singgahi, tapi aku nggak anggap ruang itu spesial karena bekas dia. Kalau kamu mau, kita pindah kamar ke ruang itu nggak masalah. Atau, kalau kamu mau jadikan ruang itu untuk eksperimen bakery kamu juga nggak masalah. Tapi selama ini, kamu aku tawari masuk aja, suka nggak mau."
"Nggak maulah! Kan, bekas Nindy!"
"Sssttt, nggak boleh gitu, ah! Nggak sopan, orangnya udah nggak ada."
"Ihhh, aku sekarang jadi kepikiran kamu sama Nindy ngapain aja di ruang itu."
"Aku nggak pernah ngapa-ngapain sama Nindy, cuma ngobrol dan makan doang di ruangan itu. Udah ya, kamu udah capek banget ini, besok lagi dibahasnya."
"Tuh kan, kamu suka gitu, Mas! Pembahasan belum selesai, udah dipaksa berhenti aja. Kamu juga nggak sopan!"
"Ya udah, kita sama-sama nggak sopan, makanya jodoh."
"Ih!"
"Pembahasan kita jadi meluber kemana-mana. Nggak baik ah, Noi, terlalu banyak ngomongin orang yang udah nggak ada."
"Sekali lagi, kamu harus jawab jujur, jangan bohong. Lebih cantikan aku atau Nindy?"
"Kamu. Aku udah jujur banget ini, Noi."
"Oke, besok kita jadi dinner di Galaxy!" Raut wajah Sandi terheran-heran usai mendengar perkataannya. Yah, tadi ia cuma bercanda kok, kalau tidak ingin ikut dinner. Siapa coba yang menolak begitu saja tawaran dinner di restoran super mewah bersama laki-laki tampan meski kadang suka bohong. Em, agaknya sekarang dia sudah mengurangi kebohongannya.
"Oh, berarti tawaran dinnerku diterima?"
"Iya! Kan, udah lama kita nggak makan malam di luar. Pake dresscode, yuk, Mas!"
"Aku pakai apapun yang kamu siapkan, Noi."
"Jam 7 atau jam 8 kita berangkatnya?"
"Jam 7 aja, biar nggak terlalu malam pulangnya. Kamu kan suka ngantukan kalau habis dinner."
KAMU SEDANG MEMBACA
Komposisi Cinta (END)
RomanceSegala kebaikan yang ada di muka bumi ini, Naida rasa Sandi memilikinya. Lebih dari sekadar seorang suami, Sandi seperti malaikat. Ya, begitulah yang ia rasa selama menjalani hubungan dengan Sandi. Selama enam bulan pernikahannya dengan Sandi, Naid...