"Menurutmu, yang mana yang lebih cocok, Nin?"
"Aku ikut aja sesuai budget yang kamu siapin, San."
"Kalau yang ini, gimana? Lebih luas. Jadi nanti, kalau kita punya anak, nggak perlu lagi repot pindah-pindah rumah."
"Boleh, halamannya juga luas. Aku suka," jawab Nindy sambil tersenyum.
Bisnisnya di bidang otomotif sedang berkembang pesat. Tanpa banyak ragu, ia mulai merencanakan masa depan bersama perempuan yang ia cintai, meski usianya masih belum genap seperempat abad. Baginya, kesuksesan bukan soal umur, tapi soal ketekunan dan tekad yang kuat.
Nindy, kekasihnya, menerima lamaran tepat di hari wisudanya. Ia berhasil lulus tepat waktu sebagai sarjana teknik. Nindy dua tahun lebih tua darinya, restu dari kedua orang tua mereka sudah ada di tangan. Rencana pernikahan pun semakin nyata. Ia bahkan sudah mengajak Nindy memilih perabotan rumah, mencicil perlahan, agar kelak ketika mereka menikah, semua sudah siap dan mereka tak perlu terlalu repot mengurus ini itu.
"Kita pilih barang untuk ruang tamu dulu ya, San."
"Boleh, aku percaya sama pilihan kamu."
Nindy bekerja di salah satu hotel sebagai staf akuntansi. Mereka pertama kali bertemu di tempat Nindy bekerja. Parasnya terlihat dewasa, senyumnya manis, suaranya lembut. Meski usianya lebih tua, Nindy bukan tipe pasangan yang otoriter. Bersamanya, ia merasa diajarkan untuk menjadi lebih bijak, disiplin, dan bertanggung jawab. Tak diragukan lagi, Nindy sangat memengaruhi hidupnya.
"Lumayan nguras energi ya, San, padahal cuma milih barang. Gimana kamu yang tiap bulan nyicil rumah? Capeknya pasti dobel," ucap Nindy sambil tertawa kecil.
'Asal sama kamu, capeknya hilang, Nin."
"Alay, ah!"
Pesanan mereka tiba—sepiring nasi goreng untuknya dan sepiring kwetiau goreng untuk Nindy.
Sambil menyuap kwetiaunya, Nindy berkata, "Akhir-akhir ini aku lagi deketin anak-anak di bagian dapur hotel, loh. Mau tahu nggak kenapa?"
"Disuruh sama bos?"
"Bukan. Aku lagi belajar masak. Biar nanti kita bisa hemat kalau udah menikah. Sekarang kan sering makan di luar, boros jadinya. Kasihan kamu, kerja terus tapi kita hidup boros."
"Udah tugas dan tanggung jawabku, kok, Nin. Tapi aku apresiasi banget usaha kamu belajar masak. Kapan-kapan aku mau coba masakan kamu, boleh?"
"Boleh dong, kalau masakanku udah banyak yang nggak failed."
"Aku tunggu, ya."
Seorang pengamen cilik tiba-tiba menghentikan obrolan mereka. Nindy segera merogoh saku jasnya, mengambil beberapa keping receh dan menyerahkannya.
"Kalau nanti kita udah menikah, kamu benar-benar mau langsung punya anak, San?" tanya Nindy sambil tersenyum.
"Terserah kamu, sih. Kalau kamu siap, kenapa harus ditunda?"
Nindy tersenyum lembut dan menggenggam tangannya. "Aku akan selalu siap kalau kamu yang jadi ayahnya."
Di bawah cahaya temaram, ia menangkap wajah Nindy sedikit berkaca-kaca. Ada harapan dan kebahagiaan di matanya yang membuatnya merasa lebih yakin akan masa depan bersama.
*________*
"Dicuci, Mas, bukan cuma disiram-siram gitu."
"Geli aku, Noi."
"Ya ampun, kalau ayamnya bisa dengar, sakit hati dia. Padahal kamu yang selalu bilang, ayam is my life!"
Sandi mundur beberapa langkah dari wastafel, menyuruhnya untuk melanjutkan mencuci daging ayam yang sempat ditinggalkannya.
"Nih, lihat aku, Mas. Ini caranya mencuci daging ayam yang benar."
Sandi, yang tadinya berdiri agak jauh, kembali mendekat. Dia memperhatikan cara istrinya mencuci daging, meski sesekali bergidik tanpa alasan yang jelas.
"Sekarang kamu siapkan tepungnya, ya. Satu tepung basah, satu lagi tepung kering."
"Di rak yang mana, Noi?"
"Itu, Mas. Yang persis di atas kepala kamu."
Ayam sudah bersih dan siap dibaluri tepung. Naida mulai menyiapkan alat dan bahan untuk menggoreng. Ini pertama kalinya Sandi mengajaknya masak bersama, malam ini dia meminta chicken katsu untuk makan malam.
"Langsung balur aja, Noi?"
"Iya, langsung aja, Mas."
Noi mempercayakan Sandi untuk menggoreng ayam-ayam itu, sementara ia sibuk menyiapkan saus. Sandi bukan penggemar pedas, berbeda dengan dirinya yang menyukai cita rasa berani.
"Jangan ditinggal, Mas. Nanti gosong!" serunya saat melihat Sandi hendak melangkah keluar dapur.
"Aku ambil handphone sebentar, kamu tolong lihatin dulu."
Setelah sekitar setengah jam penuh dengan sedikit drama di dapur, akhirnya mereka menyelesaikan hidangan makan malam itu.
"Siapa mau coba duluan?" tanyanya sambil tersenyum pada Sandi.
"Kamu aja dulu," jawab Sandi sambil mengambil sepotong ayam dan menyuapkannya padanya. Noi butuh waktu sejenak untuk menyusun kata agar tetap memotivasi Sandi mencoba memasak lagi di lain waktu. "Enak, walaupun agak gosong sedikit. But the taste is delicious. So, yummy!"
"Oke, kita makan aja langsung kalau begitu."
"Sering-sering aja nggak apa-apa nih, kalau kamu yang masak," goda Naida sambil tersenyum puas.
"Hm, sebulan sekali oke lah," balas Sandi.
"Nggak kok, bercanda. Kamu udah capek kerja, urusan dapur biar aku aja. Yang tadi cukup buat bahan cerita kalau nanti kita punya anak. When dad overcooked the chicken katsu," canda Naida, cekikikan. Sandi hanya bisa menatapnya pura-pura kesal.
"Puas banget, ya, ngeledek?"
Padahal tadi sudah Naida wanti-wanti agar Sandi lebih fokus ke kompor, bukan ke ponselnya.
"Pisahin aja yang bagian gosongnya. Atau mau tukeran sama aku? Ini udah aku bersihin gosongnya, lho." Rasanya haru juga melihat Sandi tetap makan chicken katsu yang agak gosong ini—apalagi ini makanan yang Sandi sendiri request.
"Nggak perlu, Noi. Ini masih bisa dimakan, kok," ucapnya sambil menyuapkan bagian gosong itu dengan penuh keyakinan.
Syukurlah, masih ada stok sambal cumi di dapur, jadi chicken katsu ini bukan satu-satunya lauk makan malam mereka.
Masak bersama tadi memberikan kebahagiaan yang berbeda. Naida menikmati momen itu, bertekad mengingatnya hingga bertahun-tahun ke depan.
"Nasinya masih ada, Noi?" tanya Sandi.
"Oh, nambah nih?" tanya Naida sambil tersenyum.
Sandi mengangguk. Ia langsung mengambilkan nasi dari rice cooker dan bertanya, "Sambal cuminya mau tambah juga nggak?"
"Kalau ada, boleh."
Sambil makan, Sandi tetap dengan ekspresi santainya, seperti tak peduli makanan itu gosong atau tidak.
"Mentang-mentang chicken katsu buatan sendiri, jadi nambah terus," Naida menggoda.
"Mencintai hasil karya sendiri. Terima kasih, ya, buat istriku yang udah jadi tutor masak malam ini."
"Lain kali harus nurut sama tutor, ya. Jangan kebanyakan main ponsel kalau lagi masak."
Sandi tertawa. Ah, momen ini begitu hangat dan terasa sempurna bagi Naida.
![](https://img.wattpad.com/cover/370097510-288-k180532.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Komposisi Cinta (END)
RomanceSegala kebaikan yang ada di muka bumi ini, Naida rasa Sandi memilikinya. Lebih dari sekadar seorang suami, Sandi seperti malaikat. Ya, begitulah yang ia rasa selama menjalani hubungan dengan Sandi. Selama enam bulan pernikahannya dengan Sandi, Naid...