6

641 68 2
                                    

Bangun kesiangan membuatnya melewatkan sarapan dengan Sandi, meninggalkan meja yang seharusnya penuh tawa pagi menjadi kosong. Sandi pergi tanpa sempat menyesap kopi atau menyentuh sarapan yang disiapkan dengan cinta.

Sebenarnya, ini salahnya. Tengah malam tadi, ia terbangun, dipeluk oleh pikiran-pikiran yang berat. Seperti biasa, Sandi mengisi malam mereka dengan kehangatan, sentuhan kecil, kata-kata mesra yang selalu membuatnya hanyut dalam ketenangan. Seolah ia tak pernah merasa cukup mendengar suara lembut itu. Namun, begitu kenikmatan diraih keduanya, kembali Sandi menyebut nama itu.

"Nindy..."

"The night feels perfect when I'm with you."

Itulah bisikan yang terdengar dari bibir Sandi, yang selalu diulang kala mereka berdua. Di awal pernikahan, nama itu menghantam hatinya dengan kejut yang tak terlukiskan—nama perempuan lain, terucap penuh rasa dari mulut suaminya. Entah sudah berapa kali air matanya menetes tanpa sepengetahuan Sandi.

Namun, ia telah jatuh terlalu dalam, dan seiring waktu rasa terkejut itu meredup. Ia berpikir, selama Sandi tetap baik dan bertanggung jawab, mungkin bisikan itu hanya hiasan tak berarti di antara mereka.

Tapi akhir-akhir ini, bisikan itu kembali mengusik. Rasa risih itu perlahan merayap, menyelubungi perasaannya dengan kabut yang sulit dijelaskan.

Dulu, ia pernah meminta izin memeriksa ponsel Sandi. Semua tampak aman, tak ada rahasia atau kecurigaan. Maka ia berhenti memeriksa. Tetapi kini, entah mengapa hatinya kembali diguncang tiap kali nama itu terucap—nama yang seolah asing, namun begitu dekat dalam benak Sandi.

Ia enggan menanyakan hal ini pada Sandi, tak ingin api kecil ini berujung pada cekcok yang meretakkan segalanya. Takut jika Sandi berbalik menghakimi atau, yang paling ia takutkan, memilih pergi.

Ia tak sanggup kehilangan Sandi. Baginya, Nindy mungkin hanya seekor ulat bulu, yang tak lebih dari ilusi samar di benak Sandi, sama sekali tak berarti.

*_____*

"Kalau nggak bisa nyetir motor, nggak usah bawa motor, Mbak!"

"Maaf, Pak. Memang tadi saya agak kurang fokus. Nanti saya ganti rugi, kok."

Tangannya gemetar saat membuka ponsel, mencari nomor Sandi.

"Mas?"

"Ada apa, Noi?"

"Mas, aku nabrak orang! Tolong ke sini, ya."

"Kok bisa?"

"Sharelock, Noi!"

Ia tak berani menatap laki-laki tua yang terus memarahinya. Kepalanya tertunduk, memandang masker-masker wajah yang tercecer di aspal. Ia benar-benar merasa bersalah, ia telah menabrak seorang penjual masker yang berjualan dari bagasi mobilnya. Tanpa alasan jelas, ia menabraknya begitu saja.

Tak lama, suara mobil yang ia kenal berhenti tak jauh darinya. Ia segera berlari menghampiri Sandi.

"Heh! Jangan kabur, Mbak!" teriak si bapak, mengira ia hendak lari.

Sandi datang dengan tenang dan menyelesaikan semua urusan ganti rugi dengan cepat. Hanya dalam beberapa menit, masalah itu selesai. Motor ditinggalkan, dan Sandi menyuruhnya masuk ke mobil.

"Lain kali kalau nggak fit, nggak usah maksain antar pesanan sendiri, Noi."

"Aku fit, kok, Mas. Cuma tadi kayaknya memang kurang fokus aja."

Sandi menyodorkan sebotol air mineral. "Ya udah, jadiin pengalaman, ya, biar lebih fokus kalau berkendara.

"Memangnya tadi ganti ruginya berapa, Mas?"

"Kenapa? Mau gantiin?" Sandi menatapnya sambil tersenyum nakal.

"Kalau cuma sedikit aku gantiin, deh. Tapi kalau banyak...

"Banyak atau sedikit harus tetap gantiin, dong! Nyicil boleh, Noi."

"Eh, kok gitu?"

"Siapa yang nabrak? Siapa yang ceroboh? Siapa yang bikin rugi?"

Perkataan dan tatapan Sandi membuatnya terpojok. "Mas... aku juga rugi, loh! Pesanan aku nggak keantar, beberapa malah jatuh dan rusak. Aku nggak dapat untung apa-apa!"

"Jadi, siapa yang salah?"

"Mas!"

Tumben sekali Sandi bersikap perhitungan seperti ini. Ia tahu, Sandi mungkin bermaksud memberinya pelajaran, tapi tetap saja ini terasa keterlaluan.

Dinginnya air mineral sedikit menenangkan kekesalannya. Lalu tangan Sandi dengan lembut menyingkirkan beberapa helai rambut dari wajahnya, membantunya agar bisa minum lebih nyaman.

"Cuma satu juta, kok. Dicicil dua ratus ribu per bulan, aku terima, deh," kata Sandi sambil tersenyum.

Ia mendengus, sedangkan Sandi terkekeh di balik kemudi.

*______*

"Cara makannya gimana, Mas?"

"Nggak ada cara khusus, makan aja seperti biasa."

Sandi membawa pulang seafood dalam porsi besar. Bukan cuma porsinya yang luar biasa, tapi semua jenis makanan laut di dalamnya juga berukuran besar-besar, membuatnya sedikit bingung harus mulai dari mana.

"Udah deh, kamu duduk manis aja di sana, Noi."

"Kita harus siapin tempat buat buang cangkangnya, dong, Mas."

"Diam aja, biar aku yang atur."

Ia menurut, duduk sesuai instruksi Sandi.

Setelah mengantarkannya pulang tadi siang, Sandi kembali ke kantor seperti biasa, namun malam ini dia pulang sambil membawa seafood ini. Katanya, ia ikut pre-order bareng teman-teman kantornya di restoran seafood terkenal. Tapi dalam hatinya, Naida yakin suaminya ini sebenarnya ingin sekali makan seafood, bukan sekadar ikut-ikutan. Kalau saja Sandi bilang padanya, ia pasti akan membuatkannya sendiri.

Eh, tiba-tiba Sandi mulai mengupas kerang dan kepiting, menyiapkan dagingnya untuk Naida.

"Cobain, Noi." Tanpa peringatan, Sandi menyuapinya.

"Enak! Ini super enak, Mas!"

"Sayangnya mereka nggak buka di platform online, jadi kita harus siap-siap kalau mereka buka pre-order lagi."

"Emang Mas suka banget seafood, ya?"

Sandi mengangguk, lalu menyuap dirinya sendiri.

"Aku bisa cari resepnya, nanti kapan-kapan aku coba buat sendiri, ya." Naida menawarkan sambil tersenyum.

"Nggak usah, kita beli aja kalau mau seafood."

Ia memandangnya dengan tatapan sinis. "Kamu meragukan aku bisa masak seafood?"

"Daripada udah capek-capek bikin, tapi rasanya malah nggak enak? Soalnya seafood itu favoritku. Kalau sekali nyoba yang nggak enak, aku takut bakal jadi trauma makan yang lain."

Kesal, Naida menendang kaki Sandi di bawah meja. "Ih, Mas, nyebelin banget dari tadi siang!"

"Ssst... di depan makanan nggak boleh marah-marah."

"Mas!"

Naida mulai memisahkan jagung-jagung yang ada di hadapan Sandi, memakannya satu per satu meski masih kesal. Ia mengunyah cepat, sampai salah satu biji jagung malah tersangkut di tenggorokannya, membuatnya batuk-batuk.

"Rakus sih!" Sandi berkomentar, mencoba menahan tawa.

"Gara-gara kamu ini!"

"Tau nggak, Noi? Semua hal menyebalkan hari ini tuh gara-gara istrinya Si Sandi. Lain kali jangan kesiangan lagi, ya Bu Naida. Bangun kesiangan bisa bikin mood jelek seharian, loh."

Naida mendengus kesal. "Aku bangun kesiangan juga gara-gara Bapak Sandi, tuh! Yang malamnya kebanyakan tingkah!"

Komposisi Cinta (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang