Naida mendengus kesal begitu tahu alasan Sandi memasang beberapa CCTV di rumah. Hari itu, Sandi tidak berangkat pagi-pagi seperti biasa. Katanya cuma izin setengah hari dan baru akan berangkat siang. Lalu, beberapa orang datang untuk memasang CCTV, dan Sandi berdiri mengawasi mereka.
"Aku jadi takut mau ngapa-ngapain kalau ada CCTV gini, Mas."
Sandi tertawa kecil. "Kenapa? Biasa aja, ah! Yang bisa lihat rekamannya juga cuma aku, kok."
"Justru karena cuma kamu yang bisa lihat, aku jadi was-was."
Sandi mengernyitkan alis, terlihat bingung.
"Takutnya... ini bagian dari fetish kamu," bisik Naida pelan di telinga Sandi.
"Heh! Ngada-ngada kamu, Noi! Ya enggaklah..."
Naida tersenyum kecil, menggandeng lengan Sandi dan ikut memperhatikan para pekerja yang sibuk menata kabel. Dari ujung matanya, ia melirik Sandi yang tampak serius mengawasi. Seumur hidup, ia nggak pernah bosan menatap wajah Sandi. Tampan sekali!
Sekitar satu jam setelah CCTV dipasang, tak lama kemudian datanglah sebuah mobil boks bersama beberapa orang lagi. Sandi kembali sibuk mengatur mereka untuk mengangkut barang-barang di gudang.
Satu per satu, semua barang di gudang diangkut ke dalam mobil boks itu. Menurut Sandi, barang-barang tersebut akan ia jual.
"Itu sofanya masih bagus banget, Mas. Serius mau dijual juga?"
"Iya, Noi," jawab Sandi singkat.
Pagi ini benar-benar terasa ramai. Apalagi Sandi juga memintanya menyiapkan makanan untuk para pekerja.
Kini gudang yang tadinya penuh sesak itu benar-benar kosong. Total, dua ruangan di rumahnya akan kosong setelah ini. Naida yang sehari-hari hanya sendiri di rumah mulai merasa agak ngeri memikirkan ruangan kosong tersebut.
"Noi, bantu aku sapu gudangnya," pinta Sandi sambil menyerahkan sapu padanya.
Naida menerima sapu itu dan melangkah perlahan masuk ke dalam gudang. Seperti ruangan kosong lainnya, aroma lembap bercampur bau kecoak langsung memenuhi hidungnya. Ia pun mulai membersihkan lantai dengan teliti, bahkan sarang laba-laba yang menggantung di langit-langit ia singkirkan. Pokoknya, ia akan membuat ruangan ini kinclong meskipun hanya dengan sapu.
Saat melirik ke arah pintu, ternyata Sandi malah duduk santai di luar, asyik bermain ponselnya.
Naida termenung, berpikir, kira-kira nanti Sandi makan siang di mana, ya?
Perlukah ia masak lagi?
Kalau Sandi makan di rumah, sepertinya memang harus masak lagi. Semur daging yang tadi pagi ia buat sudah habis dimakan para pekerja.
Masak apa, ya? Telur balado kira-kira Sandi mau nggak, ya? Atau bikin sayur lodeh, tapi nanti keburu lama nggak, ya? Takut Sandi malah terlambat ke kantor.
Pikiran-pikiran ini memenuhi benaknya. Sederhana, sih, tapi kalau soal makanan untuk Sandi, Naida selalu ingin memastikan laki-laki itu makan dengan baik.
Saat ia tengah asyik berpikir, kilauan sesuatu yang berwarna emas menarik perhatiannya. Naida berjongkok, memungut benda kecil yang tertutup debu namun masih berkilau. Sebuah kalung emas dengan liontin berinisial huruf "A".
Siapa saja di hidupnya yang punya nama berawalan huruf A? Pikiran ini memang tak terlalu penting, tapi otaknya otomatis mulai menerka-nerka. Kalung ini ditemukan di gudang rumah Sandi. Apa ini memang milik Sandi?
Atau... milik penghuni rumah sebelumnya? Eh, sepertinya tidak mungkin. Sandi membeli rumah ini dalam kondisi benar-benar kosong, tanpa peninggalan apapun.
Naida memasukkan kalung itu ke dalam saku dasternya. Nanti malam, ia akan menanyakannya pada Sandi. Rasanya ini bukan sesuatu yang bisa dibiarkan begitu saja—perlu dibahas dengan hati-hati dan mendalam.
*________*
"Ada sih, tapi warna yang lo mau baru aja kejual dua hari yang lalu. Lo kurang gercep, San."
"Kapan adalagi?"
"Kapan, ya? Gua nggak bisa mastiin. Yang silver aja angkut, tuh."
"Maunya hitam, gua nggak doyan silver."
"Nih jarang ada yang beli, lo pake ini di jalan juga paling mentereng, San."
"Ck! Tetap mau hitam gua."
"Yeeeu, customer ribet! Nanti gua telepon dah kalau udah ada yang hitam, lo lagi nggak ngebet banget pengen ganti, kan?"
"Enggak sih, tapi pengennya cepet."
"Iya, gua juga bilang begitu nggak berarti nyuruh lo nunggu lama. Paling dua atau tiga mingguan lagi. Nggak napa, kan?"
"Oke, langsung telepon kalau udah ada."
"Nggak mau DP dulu?"
"Barangnya belum ada, ngapain bayar DP, ngaco lo, kang bengkel!"
"Dih, kurang ajar lu, kang gamon!"
"Berisik, Rif!"
"Lo duluan!"
Sandi menyempatkan diri mampir ke showroom milik temannya. Ia ingin melihat mobil incaran yang ternyata baru saja terjual. Iya, saat ini ia memang berniat mengganti mobilnya dengan yang lebih baru dan lebih bagus. Selain itu, ada alasan lain yang tak kalah penting—membantu mengurangi rindu pada perempuan yang selalu memenuhi pikirannya.
"Rif! Kopi satu, dong."
"Udah kayak mampir di warkop aja si bapak," balas Arif, setengah bercanda.
Tanpa banyak menanggapi, Sandi membuka iPad-nya, menikmati kegiatan yang hari ini menjadi hiburannya. Di layar, tampak Naida tengah menyiram tanaman di halaman rumah, telaten mengurus satu per satu tanaman. Tak lama kemudian, Naida masuk ke dalam rumah, melepas cardigannya, memperlihatkan dress putih bertali tipis yang ia kenakan. Setelah itu, Naida pergi ke belakang rumah, mengangkat pakaian yang sudah kering dari jemuran. Melihat Naida yang seharian tak berhenti beraktivitas, Sandi merasa sedikit kasihan. Apa perlu ia mempekerjakan asisten untuk membantu Naida? Tapi, Naida sendiri tak pernah memintanya.
Ah, Naida memang jarang sekali mengeluh. Bahkan saat mereka berbincang sebelum tidur, saat ia menanyakan bagaimana hari-harinya, Naida sama sekali tak pernah menunjukkan tanda-tanda lelah menjadi seorang istri.
"Gua nggak mau bikinin lo kopi lagi, ya. Ini udah dari setengah jam yang lalu gua kasih, belum diminum juga!" suara Arif membuyarkan fokusnya. Sandi baru sadar betapa asyiknya ia memperhatikan apa yang ditampilkan di layar CCTV di rumahnya.
Sandi segera menyeruput kopinya yang sudah hangat kuku. Rasanya lumayan, pikirnya.
"Istri lo lagi di sini, Rif?"
"Enggak, di rumah dia sama anak gua."
"Kopinya enak, kirain istri lo yang bikin."
"Daritadi nih kang gamon kurang ajar terus ya, balik ajalah sono!"
Sandi menutup layar iPad yang masih menampilkan istrinya dalam pakaian kesukaannya. Ia sedikit was-was kalau Arif melihat Naida yang sedang cantik sekali.
"Udah tahu gua apa yang lo lihat, San! Lo bisa lihat si Noi sedalem-dalemnya di rumah, segala pake mantau CCTV. Fetish lo ini, jangan aneh-aneh napa, ngeri gua!"
"Duh, balik ah gua. Capek dengar ocehan kang bengkel. Thanks kopinya. Beneran enak, kalau bengkel sama showroom lo bangkrut, buka warkop juga bisa, nih."
"Udah balik sana! Kesel gua direpotin laki gamon. Istri lo cakep, montok, bohay, seksi, heran gua kenapa gamon melulu! Kalo sampai nyakitin hati si Noy, gua siap pake peralatan bengkel buat kasih pelajaran!"
Sebelum Arif lanjut ceramahnya, Sandi melangkah cepat-cepat keluar. Tapi sebelum pergi, ia menenggak sisa kopi yang tadi baru ia seruput sedikit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Komposisi Cinta (END)
RomanceSegala kebaikan yang ada di muka bumi ini, Naida rasa Sandi memilikinya. Lebih dari sekadar seorang suami, Sandi seperti malaikat. Ya, begitulah yang ia rasa selama menjalani hubungan dengan Sandi. Selama enam bulan pernikahannya dengan Sandi, Naid...