"Nggak jadi deh, Mas. Kita tidur aja, yuk."
"Yah... Noi, aku udah penasaran banget sama ceritamu. Kenapa? Ada customer yang komplain aneh-aneh? Atau ada chef baru lagi yang pesan makanan ke kamu?"
"Bukan itu."
"Terus apa?"
"Kemarin aku nemu sesuatu di gudang, waktu lagi bersih-bersih."
Sandi langsung menggenggam tangannya, matanya terlihat penasaran.
"Sesuatu?""Iya, kalung emas. Punya siapa ya kira-kira?"
"Oh, itu kalung yang aku cari waktu itu, Noi. Kalung itu..." jawab Sandi, suaranya sedikit tergesa-gesa.
Naida mengerutkan kening, kemudian mengambil kalung itu dari laci meja rias dan menunjukkannya pada Sandi.
"Kok bisa ada di gudang, Mas?"Sandi menerima kalung itu, lalu menarik Naida untuk duduk lagi di sebelahnya. Ia menghela napas pelan.
"Iya, aku yang taruh di sana dulu."Naida diam sejenak, matanya menatap Sandi penuh tanya. "Untuk Nindy?"
Wajah Sandi seketika berubah. "Kamu tahu Nindy?"
"Tahu," jawab Naida, suaranya hampir berbisik. "Setiap malam kamu nyebut namanya, Mas."
Sandi memaksa merengkuhnya, tapi ia menolak dengan halus. Ia ingin memperhatikan ekspresi wajah Sandi, membaca apa yang mungkin tersembunyi di sana. Beberapa menit sebelumnya, hatinya sudah terasa penuh sesak. Kini, air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya mengalir juga. Namun, kali ini ia tidak menangis sendirian seperti saat-saat awal pernikahan mereka dulu. Sandi melihat dan mendengar jelas tangisnya.
Sejak kecil, hidupnya memang penuh kesedihan. Tapi ia bisa menghitung dengan jari berapa kali ia benar-benar menangis. Ia bukan tipe yang mudah menumpahkan air mata. Keceriaan sering ia gunakan untuk menutupi luka-luka di hatinya. Ia tahu, jika ia menangis dulu, bibinya pasti marah, dan sepupu-sepupunya mungkin ikut sedih. Jadi ia belajar untuk menahan diri, menyembunyikan kesedihannya di balik senyum.
Tapi untuk yang satu ini, ia tidak bisa. Setelah menikah, ia merasa dirinya jadi lebih sensitif. Apakah ini wajar? Mungkin, untuk hal seperti ini, memang ada alasan untuk bersedih, bukan? Air matanya bukan sesuatu yang muncul tanpa sebab, bukan tangisan yang tak bermakna.
Ia telah menyerahkan hidupnya pada Sandi. Jadi, wajar kan jika rasa khawatir muncul? Terlebih ketika bayangan rumah tangga mereka terancam, hanya karena sebuah kalung dan nama perempuan lain yang melayang di antara mereka?
"Maaf, Naida. Aku nggak banyak cerita soal Nindy ke kamu. Aku juga nggak pernah bermaksud membandingkan, apalagi membayangkan dia dalam diri kamu. Aku... aku masih dalam proses pemulihan. Aku lagi terapi sama psikolog."
Naida terdiam. Terapi dengan psikolog? Sandi? Suaminya yang selama ini terlihat tegar dan penuh kendali ternyata menyimpan sesuatu yang bahkan tak pernah ia ceritakan?
Jantungnya terasa mencelos. Jika sampai harus berhubungan dengan psikolog, pasti ada sesuatu yang cukup serius. Tapi kenapa ia, sebagai istrinya, tidak tahu apa-apa?
Padahal selama ini ia tak pernah menyembunyikan apapun dari Sandi. Setiap cerita kecil dari hari-harinya selalu ia sampaikan, menjadikan Sandi orang pertama yang tahu segalanya tentang dirinya. Ia menggantungkan kepercayaan dan kehidupannya pada laki-laki itu.
Tapi Sandi?
Perlahan, Sandi menariknya kembali ke dalam dekapannya. Jika ia menolak lagi, pasti akan terasa berlebihan, seperti sedang bermain drama. Lagi pula, dekapannya adalah satu-satunya yang ia butuhkan saat ini.
*______*
Pening kepalanya saat terbangun begitu saja. Ia tak mendengar suara Naida seperti biasa, yang biasanya membangunkannya dengan rayuan manja, membisikkan kata-kata lembut agar ia terjaga dari tidur.
Pakaiannya untuk ke kantor sudah tersiapkan di meja. Entah sudah jam berapa perempuan itu terbangun, karena seingatnya tadi malam Naida tidur cukup larut, dengan isak tangis yang sulit dihentikan. Naida memunggunginya sepanjang malam, dan ia bersyukur usapan lembut yang ia berikan tak ditolak.
"Noi, kepalamu bisa pusing kalau nggak berhenti nangis."
"Ingusnya dibuang dulu ya, ke toilet. Napas kamu bisa sesak nanti."
"Mau ganti baju? Piyama kamu basah, nanti tidurnya nggak nyaman. Aku bantu, ya."
Naida masih menurut. Wajah sendunya yang perlahan terlelap beberapa menit setelah mengganti piyama, menjadi objek yang tak lepas dari pandangannya, hingga kantuk datang.
Setelah keluar kamar, ia menuju dapur.
"Aku masak perkedel kentang sama tumis sawi. Kamu mau bawa bekal nggak, Mas?"
Wajahnya yang masih merah sembab terlihat jelas. Dengan apron pink kesayangannya, Naida menyambutnya di awal hari.
"Boleh, kalau nggak bikin kamu repot."
Sarapan kali ini terasa canggung, meski Naida tampak sudah biasa saja. Tapi karena ia tahu dirinya adalah sumber kekacauan semalam, ketegangan ini mungkin hanya ia yang rasakan. Ia butuh Kalil untuk menenangkan dirinya.
Terdengar batuk halus dari Naida, sepertinya efek dari menangis semalaman.
"Pelan-pelan aja makannya, aku tungguin."
"Nanti kamu telat, Mas."
"Nggak masalah. Coba kamu minum dulu." Ia memberikan segelas air pada Naida untuk meredakan batuknya.
Melihat keadaan Naida yang seperti ini, ia merasa mengambil izin satu hari untuk tetap di rumah adalah keputusan terbaik. Ia tidak tega meninggalkan Naida sendirian karena kekacauan yang terjadi semalam.
"Aku buatin air jahe, ya, Noi."
"Enggak usah, nanti kamu telat."
Ia mengabaikan perkataan Naida. Membuka jas yang sudah dikenakannya dan menggantungnya di kursi yang didudukinya. Naida selalu membuatkan air jahe jika ia merasa kurang enak badan, dan kini ia merasa perlu melakukan hal yang sama untuk Naida.
Tidak butuh waktu lama untuk membuat segelas air jahe. "Minum dulu, sedikit-sedikit."
Naida mulai merasakan kehangatan dari air jahe itu. Ia membimbing Naida untuk duduk di sofa lipat ruang tamu, menyandarkan tubuh Naida di bahunya. Kini, tak ada lagi isak tangis seperti semalam. Namun, hembusan napas Naida yang lebih berat membuatnya sedikit khawatir.
"Mas?"
"Ya, Sayang?"
"Aku minta maaf ya, untuk yang tadi malam."
"Nggak perlu minta maaf, Naida. Besok kalau kamu udah sembuh dan tenang, aku jelaskan sedikit-sedikit soal kalung itu."
"Aku juga mau kalung."
"Iya, nanti kita beli."
"Aku baca chat kamu sama Nindy juga semalam."
Oh, pantas saja isak tangisnya terdengar begitu menyedihkan. Pesan-pesan itu pasti sangat menyakitkan kalau Naida yang membacanya.
"Iya, nggak apa-apa. Sekarang aku udah nggak pernah chat kayak gitu lagi ke siapapun."
"Seberapa besar ra—?"
"Besar banget, Naida. Nggak bisa diperkirakan besarnya, karena nggak ada objek yang bisa jadi tolak ukur. Saking besar rasa cinta aku ke kamu."
Pertanyaan itu sudah ia hafal betul. Entah berapa kali Naida menanyakannya dalam seminggu.
Kecupan lembut di dahi Naida ia berikan, untuk meyakinkan bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan soal rumah tangga mereka. "Pastinya, dari awal sampai sekarang, rasanya nggak pernah berkurang."
"Sama Nindy juga?"
![](https://img.wattpad.com/cover/370097510-288-k180532.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Komposisi Cinta (END)
RomanceSegala kebaikan yang ada di muka bumi ini, Naida rasa Sandi memilikinya. Lebih dari sekadar seorang suami, Sandi seperti malaikat. Ya, begitulah yang ia rasa selama menjalani hubungan dengan Sandi. Selama enam bulan pernikahannya dengan Sandi, Naid...