23

663 46 0
                                    

Sesampainya di depan rumah, Sandi memarkir mobil dengan terburu-buru, hampir lupa menarik rem tangan sebelum membuka pintu dan keluar. Di dekat gerbang, dia melihat seorang tukang ojek online sedang berdiri dengan helm di tangan, tampak kebingungan sambil memandang ke arah rumah.

“Saya ojek pesanannya Bu Naida, Pak,” ucap si tukang ojek begitu melihatnya, seolah mengerti akan raut kebingungan di wajahnya.

"Oh, istri saya pesan ojek?"

"Iya, Pak. Sudah beberapa menit nunggu, tapi belum keluar-keluar," jawab si tukang ojek, ikut melirik ke arah pintu rumah yang masih tertutup.

Tanpa menjawab lagi, ia segera bergegas menuju pintu rumah, berharap semua baik-baik saja. Pikirannya kini penuh kecemasan, takut ada yang tidak beres dengan istrinya di dalam sana.

Dia melangkah cepat masuk ke dalam rumah, meninggalkan tukang ojek yang masih bingung di luar. Begitu memasuki ruang tamu, suasana sunyi yang mencekam langsung menyergapnya.

"Noi!" teriaknya, suaranya menggema di seluruh ruangan, tapi hanya keheningan yang menjawab. Rasa cemas menyelimuti hati dan pikirannya berputar-putar, menelusuri kemungkinan terburuk.

Dengan cepat, dia bergerak dari ruangan ke ruangan, memeriksa setiap sudut rumah. Kamar tidur, dapur, bahkan ruang kerja. Semuanya kosong, tak ada jejak istrinya. Panik mulai menjalar di seluruh tubuhnya.

"Di mana dia?" pikirnya, jantung berdegup kencang.

Akhirnya ia ingat akan halaman belakang yang tidak terpantau CCTV. Tanpa ragu, Sandi bergegas menuju pintu belakang, membukanya dengan keras. Langkah kakinya kian melemas kala menemukan seseorang yang dicarinya.

Di sana, di sudut halaman belakang, Sandi dengan jelas melihat sosok Naida tergeletak di lantai. Tubuhnya kaku, tak bergerak.

Di sekitar kaki Naida darah mengalir perlahan, membentuk jejak merah yang kontras dengan keheningan di ruangan itu, membawa rasa khawatir yang tak terkatakan. Dalam sekejap, pandangannya mulai kabur, dunia di sekelilingnya seolah memudar.

"Noi!" teriaknya, suaranya penuh ketakutan dan kepanikan. Ia berlari menuju istrinya, lututnya menghantam keramik saat berlutut di sampingnya.

Detak jantungnya terasa berhenti sejenak. Ia mengguncang lembut bahunya, mencoba membangunkannya.

"Noi? Sayang...?" Refleks Tangan kirinya meraih pergelangan tangan Naida, mencari denyut nadi. Rasa cemas berubah menjadi ketakutan yang membakar, gemuruh segala doa ia lantunkan dalam hati.

*________*

Kehilangan dua orang tercinta dalam hidupnya nyaris menghancurkan jiwa dan pikirannya.

Setiap hari terasa seperti perjuangan untuk tetap berdiri, meski hatinya terasa kosong dan pikirannya terus dihantui kenangan-kenangan yang tak mungkin kembali. Malam-malamnya panjang, diwarnai dengan penyesalan dan rasa kehilangan yang tak kunjung reda. Sekuat apa pun dia mencoba untuk bangkit, rasa sakit itu tetap tinggal, membayangi setiap langkahnya.

Ada saat-saat di mana Sandi merasa tak sanggup lagi, seolah dunia tak memiliki warna tanpa kehadiran mereka. Namun, di tengah kegelapan itu, terselip secercah tekad—suatu janji pada dirinya sendiri bahwa dia akan mencoba bertahan, bahwa luka ini tidak akan sepenuhnya menguasai hidupnya. Meski sulit, dia tahu bahwa orang-orang yang dicintainya–sang Mami terutama, tak ingin melihatnya menyerah begitu saja. Peran besar seorang Kalil menjadi pengaruh hidupnya berjalan kembali.

Dengan langkah kecil dan napas berat, dia berusaha mengumpulkan kekuatan untuk berjalan maju, satu hari pada satu waktu, mencari kembali makna dalam hidup yang terasa hampa.

Hari ini persis sama dengan beberapa waktu silam. Ketakutannya, kekhawatirannya, kekalutannya, semua kembali menghantam tanpa ampun, membawa dia kembali pada perasaan yang sudah terkubur.

Kejadian yang menimpa Naida meresap hingga ke tulang, mengguncang segala keberanian yang tersisa dalam dirinya. Seluruh tubuhnya menggigil dalam ketakutan yang tak mampu ia kendalikan, seolah ia berdiri di tepi jurang penyesalan tanpa jalan keluar. Harapan bahwa Naida akan kembali menatapnya masih berpendar samar, namun bersamaan dengan itu, rasa bersalah menyeruak, menggenggam hatinya dengan dingin yang tak terlukiskan. Ia merasa tak pantas—seolah ada yang harus ditebus atas ketidakmampuannya menjaga cinta yang begitu tulus.

Ia tahu dirinya tak seperti pria-pria kebanyakan, yang dapat memeluk pasangannya dalam kebahagiaan tanpa ragu, yang mampu menawarkan perlindungan tanpa rasa gentar. Kebahagiaan sederhana yang Naida dambakan terasa begitu jauh, seolah impian yang ia biarkan runtuh dengan tangannya sendiri. Dalam diam, ia bertanya pada langit-langit rumah sakit, mengapa Tuhan memberinya kesempatan mencintai perempuan sebaik Naida, jika dirinya bukan dari barisan laki-laki yang layak?

Hatinya terombang-ambing dalam penyesalan. Cinta itu ada, tak diragukan lagi, tapi apa artinya memiliki cinta jika ia tak mampu merawatnya? Apa arti hidup bersama, jika akhirnya ia hanya menawarkan Naida kegetiran yang tak diinginkan? Di antara bayangan-bayangan itu, ia merasa seperti pecahan kaca yang tak pernah bisa utuh—tak pernah bisa sepenuhnya menjadi pria yang Naida pantas dapatkan.

Usahanya untuk menjaga dan mengawasi Naida bahkan melalui pantauan CCTV pun terasa sia-sia. Dia merasa tidak cukup, pantauan yang seharusnya bisa memberikan rasa aman ternyata tak menjangkau setiap sudut rumah. Beberapa area tersisih, ia merasakan beban kesalahan yang semakin berat.

Menyadari bahwa ia seharusnya bisa melakukan lebih banyak, rasa sesal menghimpit dadanya. Memang patut untuk menyalahkan diri sendiri atas kelalaian ini. Dia seolah menjadi saksi bisu dari kekosongan yang mengelilingi Naida, dan kini, setiap detik yang berlalu terasa seperti pengingat betapa ia telah gagal. Betapa ia tidak hanya hampir kehilangan Naida, tetapi juga kehilangan kepercayaannya sendiri sebagai pelindung.

Sandi merasakan getaran ketidakberdayaan yang menyesakkan, dalam diam, ia berjanji pada dirinya sendiri. Tidak akan ada lagi kelalaian. Tidak akan ada lagi tempat di mana Naida bisa merasa tak aman. Namun, janjinya itu terasa seperti bayangan yang samar di tengah gelap, terlalu sedikit untuk menghapus rasa bersalah yang terus membayang.

Memang ia yang salah, tidak menjadikan Naida sebagai prioritas utama dalam hidupnya. Di balik besarnya cinta yang menggelora untuk perempuan itu, ego dan kebodohan justru mengaburkan jiwanya. Ia terjebak dalam penyesalan yang tak berujung, membiarkan rasa rindu dan kerinduan itu menghimpitnya tanpa ampun.

Ia masih mengedepankan bayang-bayang Nindy, seperti bayangan yang tak kunjung pudar meski matahari telah terbenam. Kenangan-kenangan itu terus menghantui setiap sudut pikirannya, menggoda untuk kembali ke masa lalu yang penuh kesalahan. Kekalutan nan penuh rasa bersalah terus-menerus ia pikirkan, berputar seperti roda yang tak pernah berhenti. Setiap detak jantungnya terisi dengan penyesalan yang teramat dalam, seolah waktu dan kesempatan takkan pernah kembali.

Padahal sudah jelas, semua itu tiada artinya. Merenungi masa lalu hanya membawanya ke dalam lembah kegelapan, mengabaikan kenyataan bahwa hidup harus terus berjalan. Namun, mengapa hatinya masih terikat pada masa lalu yang penuh luka? Kenapa ia tak kunjung melepaskan beban itu dan berani melangkah maju?

Rasa bersalah itu menempel di dirinya seperti belenggu, menghalanginya untuk melihat ke depan. Seakan semua harapan dan impian harus dibayar dengan kesedihan yang tak berkesudahan. Seharusnya begitu ia hidup satu atap dengan Naida, dia harus memutuskan—apakah akan terjebak selamanya dalam bayang-bayang atau berani menghadapi kenyataan untuk menemukan jalan baru yang lebih bermakna?

Sandi masih mengutuk diri sendiri, terus-menerus memikirkan kesalahan-kesalahan yang telah menggores hati Naida. Seharusnya, dalam setiap langkah, ia menempatkan Naida di atas segalanya.

Bagai angin malam yang menusuk, ketidakberdayaan dan kesedihan menyelimuti ruang hatinya. Di tengah bayang-bayang yang membayangi, ia menyadari bahwa penyesalan bukanlah jalan keluar, itu hanyalah penjara yang mengurungnya. Dalam kesunyian, ia berjanji kepada dirinya sendiri untuk bangkit dari kepingan-kepingan kesalahan, untuk menghargai cinta yang sejatinya selalu ada—sebelum terlambat.

Komposisi Cinta (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang