"Rasa cokelat-milo lagi nggak ada, jadi aku ganti cokelat-blueberry pakai topping choco crunchy."
"Yah... aku padahal udah bayangin makan yang cokelat-milo."
"Besok-besok lagi, nanti aku sempatkan beli lagi kalau keburu."
Sandi membeli satu porsi roti bakar sesuai permintaan istrinya. Sambil menunggu, ia sempat mampir ke salah satu kantor pemasang CCTV. Keinginan untuk memasang CCTV di rumah sudah ada sejak lama, tapi baru besok rencananya akan terwujud. Mungkin alasan yang sederhana, bahkan sedikit norak. Ia hanya ingin bisa memantau apa saja yang dilakukan Naida saat ia bekerja di kantor.
Dipikir-pikir, ini mungkin cara yang bisa membuatnya merasa lebih dekat dengan Naida. Lebih dari itu, harapannya, dengan cara ini, hatinya bisa lebih lapang dan ia bisa menerima Naida sepenuhnya sebagai pasangan sehidup semati.
"Mas, aku tadi kecipratan minyak waktu lagi goreng ikan."
Naida menunjukkan lengannya yang terkena cipratan minyak. Kulitnya memerah, luka yang membekas cukup besar di bagian yang dekat siku.
"Udah diapain aja ini tangan kamu?"
"Udah dikasih tepung sama salep juga. Tapi kalau digerakin begini, sakit. Kalau angkat-angkat sesuatu, jadi agak susah." Naida menggoyangkan tangannya perlahan, menunjukkan kesulitan saat tangannya terlipat.
Sandi mendekat, mengusap area yang terluka dengan lembut. "Ya udah, besok nggak usah berkegiatan dulu. Kamu kayanya disuruh istirahat dulu, Noi. Jangan terima pesanan dulu ya, sampai seminggu ke depan."
Naida mengangguk, menyandarkan tubuhnya ke lengan Sandi dengan manja. Roti bakar yang sudah diletakkan beberapa menit lalu masih belum disentuh sedikit pun oleh Naida. Sandi tersenyum kecil, mengerti betul maksud Naida yang hanya ingin perhatian lebih setelah menunjukkan dan memeragakan tangannya yang terluka.
Diambilnya sepotong roti bakar yang masih hangat itu, mengarahkannya pada mulut sang istri. "Nih, aku suapin. Buka mulutnya."
Naida menurut, menerima suapan dengan senyum antusias. "Makasih, Mas! Kamu yang cari uang untuk beli roti bakar, kamu yang beli roti bakarnya, kamu juga yang nyuapin aku roti bakar."
Lebih mendekat, perempuan itu mengecup pipinya pelan. "Love you, Mas!"
"Cokelatnya nempel di pipi, Noi."
Tawa kecil Naida terdengar, riang dan mengalun merdu.
Ada beberapa alasan mengapa Sandi jatuh cinta pada Naida. Perempuan itu selalu tampil apa adanya. Entah itu perkataannya, penampilannya, pakaiannya, bahkan tingkah lakunya. Ia tidak pernah melihat Naida berusaha melebih-lebihkan sesuatu hanya agar orang lain memandangnya baik. Naida percaya diri dengan apa yang dimilikinya dan selalu jujur atas segala perkataannya, entah itu memberi pendapat, berkomentar, atau sekadar berbincang ringan. Termasuk kata "love you" yang sering kali keluar dari bibirnya.
Namun, ada perasaan campur aduk yang menggelayuti hatinya ketika telinganya mendengar kata tersebut terucap. Rasa ragu menyelusup, sebuah keraguan yang muncul dalam dirinya—benarkah Naida benar-benar mencintainya? Karena untuk ukuran pasangan seperti dirinya, Sandi merasa seolah ia tidak pantas untuk dicintai dengan cara yang begitu tulus oleh perempuan seperti Naida.
Kalaupun cinta itu dibalas, Sandi merasa seolah ia membutuhkan ruang yang begitu luas—tujuh kali luas permukaan bumi—untuk menampung perasaan yang ingin ia berikan pada Naida. Meski begitu, ia merasa ruang sebesar itu pun mungkin masih belum cukup. Ia bingung, bahkan cemas, apakah cinta sebesar itu akan cukup untuk membalas cinta Naida yang begitu tulus. Di dalam hatinya, Sandi merasa seolah ia tidak tahu bagaimana membalasnya dengan layak, sebagai bentuk rasa syukur atas cinta yang telah diterimanya dari perempuan yang begitu tulus dan penuh kasih itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Komposisi Cinta (END)
RomanceSegala kebaikan yang ada di muka bumi ini, Naida rasa Sandi memilikinya. Lebih dari sekadar seorang suami, Sandi seperti malaikat. Ya, begitulah yang ia rasa selama menjalani hubungan dengan Sandi. Selama enam bulan pernikahannya dengan Sandi, Naid...