Sandi duduk sendirian di luar ruangan, jantungnya berdebar keras dalam keheningan rumah sakit. Suara-suara samar dari lorong – langkah kaki, deru alat medis – tak mampu meredam kecemasannya. Sudah beberapa waktu ia menunggu, tenggelam dalam pikirannya sendiri, mencoba menenangkan diri.
Tiba-tiba, seorang perawat datang mendekat, menyampaikan bahwa dokter ingin berbicara dengannya. Dengan tubuh yang terasa berat, Sandi mengikuti perawat menuju ruangan dokter. Ia melangkah perlahan, mencoba menenangkan debar jantungnya yang tak menentu. Ketika ia memasuki ruangan, dokter menyambutnya dengan wajah penuh kesabaran. Sandi duduk, dalam keheningan yang seakan membekukan, dokter mulai menyampaikan kabar itu, Naida telah mengalami keguguran, pada usia kehamilan yang baru tiga minggu.
Naida telah mengalami keguguran di usia kandungan tiga minggu.
Kata-kata itu menghantamnya seperti angin dingin. Seketika, dunia seakan berhenti. Tiga minggu. Begitu singkat, namun dalam waktu yang sebentar itu, benih harapan telah tumbuh di hatinya. Meskipun awalnya ia ragu, bahkan sempat berharap Naida tak hamil, kini rasa kehilangan itu terasa nyata – dan lebih menyakitkan dari yang ia bayangkan.
Ia mengingat kembali hari-hari saat Naida berbicara penuh semangat tentang keinginan untuk memiliki anak. Wajah Naida selalu cerah ketika membahas masa depan, ketika mereka bisa membangun keluarga kecil yang penuh cinta. Namun, di balik senyuman itu, Sandi merasa tertekan oleh bayang-bayang masa lalunya. Ia teringat janji kepada mantannya yang sudah pergi, janji untuk hidup bersama, berusaha menghindari komitmen yang membuatnya merasa terikat.
Dalam sekejap, ia menyadari bahwa ia telah mengubur harapan Naida, harapan yang tulus dan mendalam. Dalam ketidakberdayaannya, ia merasakan kesedihan yang menyengat, disertai penyesalan yang tak tertahankan. Ia menyadari bahwa Naida, yang selama ini ia sayangi, telah menginginkan anak dengan sepenuh hati, sementara ia sendiri berjuang melawan ketakutannya.
Ia merasa bodoh karena menahan diri dari sebuah kebahagiaan yang mungkin telah mengubah hidup mereka. Keguguran ini bukan hanya kehilangan fisik, tetapi juga kehilangan kesempatan untuk menjadi orang tua, untuk memberikan cinta dan kebahagiaan yang selama ini diinginkan Naida.
Di dadanya, perasaan bersalah bercampur dengan duka. Ia tahu, tak seharusnya ia meragukan kehamilan itu, tak seharusnya ia menahan harapan yang kini terlambat ia sadari. Ada penyesalan yang membayang di balik kesedihannya, seperti potongan kenangan yang belum sempat tumbuh. Rasa bersalah itu menusuk, seakan ia telah mengecewakan harapan yang bahkan belum sempat ia wujudkan. Meski janin itu hanya berusia tiga minggu, kehilangan ini terasa dalam, menghantam sisi hatinya yang paling rapuh.
Dalam keheningan ruangan, Sandi hanya bisa menunduk, mengusap wajahnya dengan kedua tangan, mencoba menahan getaran di dadanya. Pandangan dokter yang penuh pengertian seakan memberinya waktu untuk memproses rasa sakit ini. Namun, ia tahu bahwa duka ini bukan miliknya sendiri. Ia harus kembali ke sisi Naida, harus menguatkan dirinya untuk menghadapi kenyataan bersama. Perlahan, Sandi berdiri, menghela napas panjang, berusaha menyiapkan dirinya untuk pertemuan yang tak pernah ia bayangkan akan seberat ini.
*_______*
Naida perlahan membuka mata, pandangannya buram menelusuri ruangan yang terasa asing dan sunyi. Cahaya putih dari langit-langit terasa menyilaukan, membuatnya berkedip perlahan, mencoba mengingat bagaimana ia bisa berada di sana. Ada rasa sakit samar di tubuhnya, tapi lebih dalam dari sekadar fisik – seperti lubang tak terlihat yang tiba-tiba menganga.
Seorang dokter mendekatinya, suaranya lembut namun tegas. Dengan hati-hati, ia mulai menjelaskan. Kata-katanya pelan, tapi tiap kalimat bagai retakan kecil yang makin mendalam. Di tengah kepingan penjelasan itu, Naida terdiam – hatinya mencelos, seolah sebuah angan yang pernah tumbuh di dalamnya telah padam tanpa sempat melihat cahaya. Perasaan hampa mengalir perlahan, menyusup di setiap inci tubuhnya.
Naida menatap lurus ke depan, namun pikirannya melayang, mencoba menerima sesuatu yang tak pernah ia bayangkan harus dihadapi. Dalam kesunyian yang nyaris membekukan, ia hanya bisa menggenggam selimut erat-erat, berusaha mencari kehangatan dari sesuatu yang kini tak lagi ada.
*_______*
Sandi menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan jiwanya yang bergejolak sebelum melangkah ke dalam ruangan Naida. Ia membuka pintu, suasana di dalam terasa hening, dipenuhi dengan aroma antiseptik yang menyengat. Naida terbaring di tempat tidur, wajahnya terlihat lelah, namun seolah tetap menyimpan harapan yang samar di dalamnya.
Melihat istrinya dalam keadaan demikian, hati Sandi terasa nyeri. Ia mendekat, mengamati setiap detail wajah Naida yang kini tampak lebih pucat, seolah kehilangan cahaya yang biasanya bersinar. Dalam kebisuan yang mengisi ruangan, Sandi merasakan kesedihan yang mendalam merambat di antara mereka. Ia ingin mengucapkan sesuatu, tapi kata-kata yang ingin dikelurkannya seolah tercekik di tenggorokannya.
Dalam detik-detik yang seolah melambat, Sandi merasakan beban penyesalan yang berat. Ia ingin menjelaskan betapa ia mencintai Naida, betapa ia menginginkan kebahagiaannya, dan betapa ia menyesali semua rasa takut yang telah menghalangi mereka. Namun, semua itu terasa sulit, terperangkap dalam rasa bersalah dan kekhawatiran yang tak terucapkan.
Dengan langkah hati-hati, Sandi meraih tangan Naida, menggenggamnya erat. Air mata mengalir di pipinya, setiap tetesan mencerminkan rasa sakit yang mendalam di dalam hatinya. Ia menatap wajah Naida, berusaha mencari harapan di balik mata yang lelah. Dalam keheningan ruangan, hanya terdengar suara isakan pelan dari Sandi.
Ia berharap sentuhannya dapat menyampaikan semua perasaan yang tak terungkapkan, harapan baru untuk masa depan yang lebih baik, dan tekad untuk tidak membiarkan bayang-bayang masa lalu menghancurkan cinta mereka. Di antara keheningan dan kepedihan, Sandi berdoa agar Naida dapat merasakan cintanya yang tulus.
Sandi semakin erat menggenggam tangan Naida, menciuminya dengan lembut. Air matanya masih mengalir saat ia berbisik pelan, menggumamkan maaf berkali-kali.
"Kamu udah tahu, ya, Mas?" tanya Naida, suaranya lemah namun penuh keingintahuan.
"Dokter udah kasih tahu tadi," jawab Sandi, menundukkan kepala, tidak berani menatap mata Naida yang penuh harapan.
"Padahal aku cuma jatuh dari kursi," ungkap Naida, mengingat kembali kejadian yang terasa sepele.
"Salahku yang belum bisa jadi suami protektif," Sandi mengakui, rasa bersalah menyelimuti dirinya.
"Enggak, ini salah aku karena nggak hati-hati," Naida membela diri, meski ada kesedihan di dalam suaranya.
"Masih sakit, nggak? Kamu tadi berdarah banyak banget," tanya Sandi, cemas.
"Aku nggak ngerasa apa-apa sekarang, cuma masih nggak nyangka aja, berarti kemarin-kemarin perut aku udah ada isinya." Suara Naida pelan, menatap kosong ke arah langit-langit ruangan, mencoba mencerna kenyataan yang baru saja dihadapi.
Sandi merasakan hatinya bergetar. Dalam hening, keduanya merasakan kedukaan yang sama, harapan yang sirna, dan penyesalan yang mendalam. Mereka berdua hanya saling menatap, berusaha mencari makna di balik kehilangan yang mendalam ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Komposisi Cinta (END)
RomantizmSegala kebaikan yang ada di muka bumi ini, Naida rasa Sandi memilikinya. Lebih dari sekadar seorang suami, Sandi seperti malaikat. Ya, begitulah yang ia rasa selama menjalani hubungan dengan Sandi. Selama enam bulan pernikahannya dengan Sandi, Naid...