Istrinya sedang pergi melakukan kegiatan bersama komunitas memasak yang diikutinya. Dia sendiri yang mengantarnya setengah jam lalu. Kini, saat duduk sendirian, perasaan gelisah dan tidak nyaman mulai muncul. Tidak ada pekerjaan yang perlu diselesaikannya hari ini. Minggu kali ini benar-benar hari libur untuknya.
Ia tergerak untuk menghubungi sahabatnya, seorang psikolog di rumah sakit daerah Solo. Sudah dua pekan mereka tidak berkomunikasi. Bukan berarti ia merasa sudah pulih, hanya saja ia sempat berpikir bahwa menghabiskan waktu bersama Naida bisa membantu meredakan emosi-emosi negatif yang terus menghimpitnya. Namun nyatanya, ia masih memerlukan bantuan Kalil.
Panggilan tersambung dalam sekali percobaan.
"Sandi?"
"Mas Kalil? Sibuk nggak?"
"Nggak, aku baru aja selesai ngajak istri dan anak jalan-jalan."
"Ada sesuatu yang mau aku bicarakan, Mas."
"Lanjut di Google Meet aja, gimana?"
"Boleh, Mas. Aku buat link-nya."
Ia menarik napas perlahan, berusaha menenangkan diri sebelum memulai percakapan. Di seberang sana, Kalil sudah siap mendengarkannya. Buku catatan dan pena ada di tangannya, siap untuk mencatat saran-saran yang akan diberikan oleh Kalil nanti.
"Aku masih kepikiran terus, Mas," katanya pelan.
"Aku belum siap punya anak sama Naida. Ada yang ganjel setiap kali aku coba setuju sama keinginannya. Dia udah pernah bilang kalau dia pengin banget jadi ibu."
"Mas, aku salah nggak kalau masih kangen dia tapi malah melampiaskannya ke Naida? Istriku nggak tahu, kalau di beberapa momen mesra kami, sebenarnya aku lagi kangen banget sama dia."
Sandi terdiam, menunggu reaksi Kalil. Setetes air mata lolos, meskipun tadi dia sudah berusaha keras menahannya.
"Kayaknya ini terjadi karena kamu masih di tempat-tempat yang ngingetin sama dia, San,” kata Kalil pelan. “Kamu masih tinggal di rumah yang dulu kalian pilih bareng, masih pakai mobil yang biasa dia tumpangi, masih sering ke ruangan yang dulu sering dia singgahi. Jadi, mau nggak mau, kamu harus mulai dari diri kamu sendiri untuk ngelepasin semua itu. Memang nggak baik kalau dipaksain, tapi yang penting ada niat buat mencoba."
"Kamu bilang kamu sayang sama Naida, kan? Coba pikirin dengan tenang—gimana kalau suatu hari nanti Naida ninggalin kamu? Kamu bakal ngerasain kehilangan lagi, dan kali ini karena orang yang juga kamu sayangi. Coba pelan-pelan bangun perasaan yang lebih tulus buat Naida. Mulai aja dari hal kecil, kayak menjual barang-barang yang banyak kenangannya sama dia, atau bahkan pindah ke tempat baru."
"Suasana baru bersama orang yang kamu sayangi bisa jadi langkah awal buat ninggalin memori itu."
"Dan satu hal lagi, San. Istrimu perlu tahu kalau kamu sedang terluka—tapi ini luka yang beda dari sakit biasanya. Kalau dia tahu, dia bisa bantu kamu, entah dengan support, atau sekadar memahami hal-hal yang mungkin nggak kamu mau. Naida itu lebih dari sekadar partner hidupmu, San."
*_______*
"Lama banget, Mas! Aku ditinggal sama teman-teman yang lain, mereka udah dijemput sama suaminya. Tinggal aku sendiri yang belum dijemput! Tega banget kamu!" Naida mengeluh sambil melipat tangannya, menatap ke arah lain.
"Iya, maaf ya, Noi. Aku cuma telat lima belas menit kok. Lagian kamu kan nunggu di ruangan ber-AC," jawabnya, berusaha meredakan.
Naida masih membelakanginya, tapi ia tak terlalu khawatir. Ia tahu, sebentar lagi Naida akan kembali bicara, membawa cerita-cerita menarik seperti biasanya. Dengan Naida, hidupnya terasa lebih berwarna, selalu ada saja hal-hal lucu dan baru yang ia temukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Komposisi Cinta (END)
RomanceSegala kebaikan yang ada di muka bumi ini, Naida rasa Sandi memilikinya. Lebih dari sekadar seorang suami, Sandi seperti malaikat. Ya, begitulah yang ia rasa selama menjalani hubungan dengan Sandi. Selama enam bulan pernikahannya dengan Sandi, Naid...