2

3.1K 167 3
                                    

Begitu sampai di rumah, Sandi dan Naida langsung bergegas membongkar kantong-kantong belanjaan yang mereka bawa. Naida, dengan cekatan, mengeluarkan satu per satu barang dari kantong, sementara Sandi mulai meletakkan bahan makanan di dapur. Mereka berdua bekerja dalam keheningan yang nyaman, menikmati kebersamaan dalam rutinitas sederhana ini.

Naida membuka kulkas, memasukkan susu, buah-buahan, dan beberapa sayuran segar yang baru mereka beli, menatanya dengan rapi di rak yang sudah dibersihkan. Sandi mengambil alih barang-barang yang perlu disimpan di rak dapur—bumbu dapur, kaleng-kaleng makanan, serta beberapa kotak sereal. Ia menyusun semuanya dengan telaten, memastikan setiap barang berada di tempat yang mudah dijangkau nanti.

Selesai menata dapur, Naida melirik jam dinding. Ia menghela napas pendek, merasa sedikit lelah namun puas.

Menyudahi kegiatannya, Naida bergegas mandi. Tubuhnya butuh kesegaran untuk merilekskan otot-otot yang sudah dipakainya mengitari supermarket.

"Mas, kamu mau mandi di mana?"

"Aku mau pakai kamar mandi di dalam, ya."

"Kamu pakai yang di luar aja, ya, Mas."

Sandi menghela napas, tersenyum tipis. Kenapa diberi pilihan kalau akhirnya dia sendiri yang menentukan? Matanya menatap pintu kamar mandi dalam yang tertutup rapat. Dia mendekati pintu itu, mengetuknya pelan.

"Noi, aku mau ambil sikat gigi dulu sebentar. Buka pintunya, ya?"

Pintu terbuka sedikit. Istrinya muncul, menongolkan kepala dengan senyum hangat, lalu menyerahkan sikat gigi yang dimintanya. Dia mengucapkan terima kasih dan berbalik menuju kamar mandi dekat dapur.

Saat hendak mengunci pintu, dia baru sadar pegangan pintu kamar mandi itu sudah rusak. Pintu itu tak bisa terkunci, harus diganjal agar tak terbuka saat mandi. Meski hanya ada mereka berdua di rumah, tetap saja ada rasa waspada.

Dia tersenyum, akhirnya paham alasan istrinya menghindari kamar mandi ini. Ternyata, dia sudah lebih dulu tahu masalah pintu ini. Menggeleng pelan, dia mulai membersihkan diri. Air dingin mengalir menyegarkan, melunturkan debu perjalanan dan kepenatan hari. Sabun beraroma terapi dan antibakteri membasahi tubuhnya, membersihkan hingga ke setiap sudut. Ia tahu istrinya senang dengan aromanya usai mandi. Kadang, Naida suka sekali mendekat, menempelkan diri, mengendus tubuhnya dengan senyum kecil yang selalu terlihat indah.

Selesai mandi, dia mengeringkan tubuh, keluar dari kamar mandi sambil menaruh handuk kecil di area lehernya. Dari arah dapur, terdengar denting halus gelas-gelas beradu.

"Aku habis mandi, kedinginan, Mas. Ini aku lagi buat teh jahe hangat. Mau, Mas?"

"Boleh, tapi gulanya setengah sendok aja."

Dia duduk di meja makan, mengambil camilan dari toples sambil menatap istrinya. Dipandanginya sosok itu dalam diam—istrinya yang terlihat lebih gemuk, rambutnya yang semakin panjang. Naida memang definisi dari seorang perempuan yang sederhana dan tangguh.

Beberapa bulan yang lalu, mereka bertemu di kontrakan kecil yang ditempati perempuan itu. Kontrakan sederhana yang penuh dengan aroma masakan dan makanan-makanan kecil yang ia jual untuk menyambung hidup. Ia terpesona sejak pertemuan pertama itu. Baginya, sosok Naida menjadi kilasan semangat hidup yang nyata.

Waktu itu ia ada melakukan temu janji dengan temannya untuk menonton pameran otomotif. Arif, temannya yang ia ajak ikut nonton pameran bertempat tinggal di jejeran kontrakan yang sama dengan Naida.

Jarak yang jauh ia tempuh demi bisa menjemput temannya itu di kontrakan. Sayangnya, Arif sedang tidak ada di kontrakan. Ia memutuskan untuk bertanya pada seorang perempuan yang tengah mengaduk adonan di dalam wadah tepat di sebelah kiri kontrakan Arif.

Perempuan yang sedang sibuk mengaduk adonan itu adalah Naida. Pertemuan pertama dengan perempuan itu meninggalkan kesan yang sangat menyenangkan baginya. Hiruk pikuk kota Jakarta tidak akan menghilangkan esensi perempuan sebatang kara yang mempunyai semangat kerja demi menyambung hidup.

"Manisnya pas nggak, Mas?" tanyanya setelah menyeruput sedikit teh jahe itu.

"Pas, kok. Hangatnya juga pas."

"Mas, aku mau izin ya?"

"Izin apa?"

"Bukan mau pergi, kok. Aku mau pakai sisa uang bulanan buat nambah beli oven. Boleh, ya?"

Dia mengangguk kecil. Uang itu sudah jadi hak istrinya, apapun yang ingin dia gunakan. Baginya, keinginan itu tidak butuh alasan lain.

Naida memang pandai memasak, hal yang dulu justru membuatnya jatuh cinta. Saat masih pendekatan, perempuan itu sering memberinya banyak makanan hasil masakannya. Dan setelah menikah, setiap hari Naida terus memasak untuknya, membuatnya betah berlama-lama di rumah dan ingin segera pulang.

"Nanti malam, kamu mau dimasakin apa?" Suara lembutnya mengalun.

"Terserah, deh, tapi jangan ada daging-dagingan, ya. Tadi siang kita sudah banyak makan daging."

"Oke."

*________*

"Handle dulu aja. Besok pagi gua ke kantor."

"Gua udah nggak bisa buka laptop, badan gua udah lengket di kasur, nih."

"Sebisa lu dulu, ya. Besok gua bantu beresin."

Dia menaruh ponsel di sampingnya, mematikan telepon. Syukurlah, kali ini bukan dia yang harus menangani masalah pekerjaan. Setidaknya, hari ini bisa ia habiskan tanpa gangguan, hanya bersama istrinya.

"Jendelanya udah ditutup, Noi?"

"Udah tadi, sebelum aku ke kamar mandi."

Sandi menepuk sisi kasur di sebelahnya. "Yang kamu pakai ini piyama baru?"

Begitu Naida duduk di sebelahnya, aroma segar menguar lembut. Tanpa ragu, dia mendekat, mencium pundak mulusnya, seolah mencari rasa nyaman yang hanya bisa diberikan oleh istrinya.

"Iya, Mas, ini piyama baru."

Harum semerbak langsung tercium oleh hidungnya begitu sang istri mendudukkan diri dan menyamankan posisi di sebelahnya. Ia tidak tahan untuk tidak mencium pundak mulus yang terekspos di sisinya. Tubuhnya meremang kala melihat Naida menyunggingkan senyum dan menyambut aksinya.

Tangannya mengusap rambut Naida, membimbing kepalanya masuk ke ceruk leher yang hangat dan memabukkan. Keduanya menikmati kehangatan yang terasa begitu familiar namun tetap menggetarkan. Satu demi satu, ciuman kecil menghiasi malam itu, membawanya dalam sebuah penyatuan yang selalu terasa penuh cinta dan keintiman.

Satu desahan lolos ketika ia bersamaan mengecup leher sembari meremas payudara perempuan itu. Ini sungguh menggairahkan.

Hari ini benar-benar ia habiskan berdua dengan Naida. Perempuan itu tahu sekali caranya memanjakan dirinya kala ia berniat untuk memulai kegiatan yang satu ini. Ia membuka satu demi satu kancing piyama sang istri. Oh, tentu ia tidak akan melupakan tangannya untuk membuka celana dalam yang melekat di bawah sana.

Penyatuan dirinya dengan perempuan itu selalu terasa sama intimnya seperti keduanya melakukan pertama kali. Satu demi satu desahan keluar dari mulutnya. Kenikmatan yang tiada tara membuatnya sedikit hilang kesadaran dengan apa yang ia ucapkan dalam desahannya.

"....it's perfect night Nindy..."

"Oh, Nindy..."

Komposisi Cinta (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang