22

632 52 0
                                    

Informasi dari dokter terkait kondisi mami sudah disampaikan beberapa menit yang lalu. Namun Sandi masih menghela napas panjang, menyalurkan rasa lega yang seperti mengalir dari dadanya. Tanpa sadar, dia tersenyum kecil sambil menutup mata sejenak, membiarkan rasa syukur dan lega itu menyapu habis kekhawatirannya. Dia hampir tidak bisa berkata apa-apa, hanya mengangguk pada dokter, sambil berbalik memandang maminya yang sekarang tengah menatapnya yang berdiri di tengah pintu kamar. Tersenyum ia membalas tatapan lembut mami.

"Menantu mami nggak ke sini, San?" tanya mami padanya begitu ia mendekatkan tubuhnya pada ranjang yang mami tiduri.

"Ke sini kok, nanti. Sandi jemput ke rumah kalau udah agak siangan."

Sebenarnya penasaran, namun enggan ia bertanya terkait sebab mengapa maminya bisa terjatuh meski asistennya sudah memberi laporan terkait sebab mami terjatuh. Lain waktu saja jika mami sudah dalam kondisi baik dan bisa diajak bercanda maka akan ia tuntaskan penasaran itu.

Ponsel dalam genggamannya masih belum menunjukkan getarannya. Harapannya, Naida akan meneleponnya balik. Atau paling tidak, membalas pesannya.

*_______*

Naida mendapat pesanan dadakan dari rekan komunitasnya. Dua loyang bolu pisang yang harus segera diantar jam sebelas. Sepulangnya dari pasar ia gegas berperang dengan peralatan baking. Meski hanya bolu pisang ia akan berusaha mungkin menghasilkan bolu pisang seenak mungkin.

Di hadapannya, sudah ada bahan-bahan seperti pisang matang yang sudah dihaluskan, tepung, telur, dan gula yang tertata rapi. Kesibukan di dapur sudah dimulai. Naida mencampur adonan bolu pisang dengan penuh perhatian. Rambutnya diikat ke belakang agar tidak mengganggu, wajahnya tampak fokus namun sesekali tersenyum kecil, menikmati proses memasaknya.  Sambil memegang spatula, ia dengan hati-hati mengaduk adonan di dalam mangkuk besar, memastikan semua bahan tercampur sempurna. Aroma pisang yang manis mulai tercium di dapur, suasana hangat memenuhi ruangan, seiring ia menuangkan adonan ke dalam loyang untuk dipanggang.

Setelah menuangkan adonan ke dalam loyang, perempuan itu meratakannya dengan hati-hati, memastikan tiap sudut terisi sempurna. Ia lalu membuka oven yang sudah dipanaskan, dengan cermat memasukkan loyang ke dalamnya dan menutup pintu oven perlahan. Sambil menunggu, ia membersihkan peralatan dan meja dapur yang sedikit berantakan oleh sisa adonan, tepung yang berceceran, dan kulit pisang. Sesekali, ia mengintip ke arah oven, penasaran melihat bolu pisang mulai mengembang dan berubah warna keemasan. Ketika aroma bolu yang hangat dan manis memenuhi dapur, ia tersenyum puas, menanti saat bolu matang dan bisa disajikan. Sesekali, ia menyeka tangannya pada celemeknya, merasa puas dengan hasil kerja kerasnya.

Setelah bolu pisang matang dan didinginkan, perempuan itu mengeluarkannya dari loyang. Dengan hati-hati ia mulai membungkusnya dengan rapi dalam kotak setelah didinginkan beberapa menit. Ia tambahkan sentuhan pita kecil di atasnya. Sambil tersenyum, ia mengambil ponselnya, membuka aplikasi ojek online. Jari-jarinya lincah mencari opsi pengantaran dan memasukkan alamat temannya yang sudah memesan bolu itu. Tak lama, ia mendapat notifikasi bahwa ojek sedang dalam perjalanan.

Sambil menunggu ojek online tiba, perempuan itu keluar sebentar, memperhatikan langit di luar yang semakin mendung. Ia tahu bahwa cuaca bisa berubah kapan saja, jadi ia segera mengangkat jemuran sebelum hujan turun. Ia berjalan menuju tempat jemuran yang berada di bawah kanopi otomatis yang sayangnya sudah rusak. Ia lupa mengatakan pada Sandi jika kanopi ini sudah rusak dan tidak bisa difungsikan dengan baik.

Setelah mengangkat beberapa pakaian, ia memutuskan untuk memindahkan jemuran ke belakang, di mana ada tempat yang lebih aman dan terlindungi dari hujan. Namun, tempat jemurannya di belakang cukup tinggi, sehingga ia harus mengambil sebuah kursi untuk bisa mencapai bagian atas tiang jemuran. Dengan hati-hati, ia naik ke kursi dan mulai menggantungkan pakaian, tetapi saat ia mencoba meletakkan gantungan baju terakhir, keseimbangannya terganggu.

Tiba-tiba ia terjatuh dari kursi, tubuhnya jatuh ke lantai dengan suara yang cukup keras. Rasa nyeri menyentak di punggungnya saat tubuhnya menyentuh lantai. Suara-suara di sekitar terasa semakin jauh, seakan tenggelam dalam jarak yang tidak bisa ia gapai. Matanya terasa berat, meski dia mencoba bertahan agar tetap sadar. Tapi perlahan semuanya memudar dalam kegelapan yang dalam.

*_______*

"Aku jemput Noi dulu ya, Mi. Kita makan siang bareng nanti di sini," pamitnya pada Mami.

"Iya, jangan lama-lama loh, San. Bilang Naida, mami tadi pagi ada buat siomay ayam gitu."

"Oke, nanti aku bilang. Aku pergi dulu ya, Mi!" ujarnya seraya menutup pintu kamar sang Mami.

Melewati ruang keluarga dan ruang tamu, ia juga menyampaikan izinnya pada saudara-saudara mami untuk menjemput Naida di rumah.

Tapak kakinya sudah sampai di luar, tangannya sibuk merogoh saku celana mencari kunci mobil. Dia melangkah dengan cepat menuju garasi. Setiap langkahnya terasa mantap meskipun pikirannya dipenuhi berbagai hal. Udara siang yang terik menyapu wajahnya, tapi Sandi hampir tidak merasakannya.

Pandangannya lurus ke depan, fokus pada mobil di dalam garasi yang sudah siap membawanya ke tujuan. Ketika sampai di depan pintu garasi, ia menarik napas dalam-dalam sejenak, mencoba menenangkan diri, lalu mengangkat tangan untuk membuka pintu.

Sebetulnya sedari tadi ia merasakan kegelisahan yang mulai menggumpal di hatinya. Percobaan telepon yang berkali-kali ia lakukan pada istrinya bahkan saat di kamar mami tadi pun masih belum di jawab, hanya suara nada sambung yang terdengar, benar-benar tidak ada jawaban atau balasan.

Kali ini ia mencoba lagi, barangkali Naida sudah tidak sibuk. Jempolnya terus menekan ulang tombol panggil, berharap kali ini istrinya akan mengangkat, tapi tetap hening. Hatinya mulai tak tenang—pikirannya melayang, membayangkan kemungkinan-kemungkinan yang tak diinginkan.

"Kenapa nggak diangkat-angkat sih, Noi?" gumamnya pelan, sembari menggenggam ponsel sedikit lebih erat.

Menjalani hubungan dengan Naida dari sebelum menikah, ia sudah paham betul bahwa Naida jarang sekali mengabaikan segala bentuk komunikasi dalam ponselnya meski sedang ada perseteruan. Seperti perseteruan beberapa waktu lalu, Naida masih mau membalas pesan-pesannya, meski banyak yang nggak begitu penting.

Setelah duduk di dalam mobil dan menutup pintu, dia meraih iPad yang tersimpan di konsol tengah, jantungnya berdegup sedikit lebih cepat dari biasanya. Rasa gelisah yang tadi hanya samar, kini semakin nyata. Sambil membuka CCTV yang terhubung ke rumah, jemarinya bergerak cepat di layar, mencari tampilan langsung dari ruangan tempat istrinya biasanya berada.

Ketika layar iPad mulai menampilkan gambar dari rumahnya, ia memperhatikan setiap sudut dengan seksama, berharap menemukan tanda-tanda keberadaan istrinya. Matanya menyapu cepat setiap ruangan yang tertangkap kamera, menanti dengan cemas—apa pun yang bisa menjelaskan kenapa istrinya tak mengangkat telepon. Perasaan tak nyaman itu semakin menusuk ketika layar masih menunjukkan keheningan rumah yang kosong.

Jantungnya berdetak semakin kencang, rasa cemasnya berubah menjadi kepanikan yang mulai membayangi pikirannya. Tanpa pikir panjang, ia meletakkan iPad di kursi sebelah, menyalakan mesin mobil, segera melajukan mobilnya ke arah rumah mereka.

Sandi menekan pedal gas sedikit lebih keras dari biasanya, pandangannya lurus ke jalan namun pikirannya penuh pertanyaan.

Apa yang terjadi?

Kenapa Naida nggak ada di ruangan manapun?

Perasaan tidak enak semakin menguat, setiap detik yang berlalu seakan memperlambat lajunya, meskipun ia tahu ia sudah berkendara secepat yang bisa dia lakukan.

Komposisi Cinta (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang