Tiga puluh pesanan masuk ke dalam list pre order. Noi sibuk berkutat di dapur setelah mengantar kepergian Sandi yang berangkat kerja setengah jam yang lalu.
Seperti biasa, tetangga komplek dan beberapa teman dari komunitas memasak ramai mengisi list pesanan saat ia mempromosikan makanan di status WhatsApp kemarin malam.
Ia selalu seperti ini dan akan terus seperti ini. Memasak bagi dirinya, bukan hanya sekadar membuat sesuatu atau berkreasi. Lebih dari itu, memasak seperti apa, ya? Ia tidak bisa mendefinisikan bagaimana memasak merupakan kegiatan yang selalu bisa membuat hatinya lapang. Agaknya lebih dari sekadar lapang, mungkin kata damai bisa jadi satu kata yang mengartikan bahwa masak lebih dari sekadar membuat sesuatu.
Ia suka ketika dirinya berada dalam fase kebingungan menentukan jenis bumbu apa yang perlu ia pakai untuk bahan masakan.
Ia merasa enjoy, ketika ia berada dalam fase mengatur strategi agar bahan masakan yang terlihat biasa saja bisa ia ciptakan hasil makanan yang luar biasa.
Ia merasa berbunga-bunga jikalau ada yang mengomentari hasil makanannya meski yang didapat komentar negatif.
Masak adalah kebahagiaannya.
Ayam goreng bawang putih sudah siap untuk dikemas. Ia menelepon kurir untuk mengantar pesanan yang jaraknya di luar komplek perumahan. Untuk yang di dalam komplek ia bisa mengantarnya sendiri menggunakan sepeda motor sang suami.
*____*
"Udah enam bulan loh kalian menikah. Kamu nggak ada tindak lanjut sama dia untuk punya anak, San?" tanya sang ibu saat Sandi berkunjung ke rumahnya.
"Memang belum waktunya, Mi. Mau tindak lanjut yang seperti apapun, kalau belum waktunya dikasih, ya mau bagaimana?" jawab Sandi, berusaha tetap tenang.
"Dari kamunya aja nggak ada usaha. Seenggaknya ada diskusi gitu lho atau lakuin program hamil, konsultasi ke dokter. Maksud Mami tuh yang penting ada usaha, nggak yang cuma nunggu doang."
Entah sudah berapa kali Sandi menahan untuk menghela napas selama berbicara dengan ibunya. Tahu begini, tadi dia tidak pergi ke sini.
"Mami udah suruh Mbok buatin jamu, nanti kasihkan ke istrimu. Suruh minum setiap pagi setelah sarapan. Ajakin olahraga juga, ya minimal jogging bareng kamu sebelum berangkat kerja. Kurangi makan pedas, kamu harus bisa atur dan kontrol apa yang istrimu konsumsi, San."
"Iya, nanti Sandi sampaikan ke Naida, Mi," jawabnya dengan nada pasrah.
Setir mobil sudah dipegangnya, namun ia masih belum berada dalam kondisi mood yang bagus untuk melanjutkan perjalanan. Ia sudah pulang dari rumah megah itu, keluar komplek elit lalu menepi di pinggir jalan. Memikirkan kembali perkataan sang mami yang memintanya untuk memiliki anak.
Sama sekali ia tidak pernah memikirkan hal itu. Menikah dengan perempuan asing saja tidak pernah ada dalam rencananya. Apalagi memiliki anak dari perempuan tersebut?
Ia bukannya meragukan seorang Naida. Ia hanya, belum siap. Dalam artian menjadi milik Naida seutuhnya. Menjadi seorang ayah dari darah daging ia dan Naida, itu artinya ia harus sehidup semati dengan Naida. Lalu bagaimana dengan janji-janjinya pada perempuan berparas elok itu?
"Kamu milik aku, pun sebaliknya aku milik kamu, San. Can we together forever?"
"We must together for every moment, Nin."
Selain menjadi tumpuan tangannya, setir mobil dihadapannya itu harus menumpu kepala dengan beban yang terasa berat. Beberapa menit ia berdiam diri, membawa pikirannya berkelana mengenang masa lalu dengan perempuan yang mengisi hatinya.
Suara dering pesan menyadarkannya. Naida mengiriminya pesan.
From: Noi-Noi
Pulang jam brp, Mas?
To: Noi-Noi
Skrg, lg d jln
Ia mendongakkan kepalanya kembali, melihat keluar jendela mobil. Warna langit sudah berubah jingga. Lekas ia menyalakan mesin mobil, melaju membelah jalan.
*_____*
"Tapi aku nggak suka jamu, gimana dong, Mas?"
"Nggak usah diminum, tapi bilang ke mami habis diminum aja."
"Terus dibuang?"
Ia menganggukkan kepalanya. Biar sajalah sesekali berbohong pada Mami. Daripada ia harus mencari cara untuk memaksa agar sang istri mau meminum jamu itu.
"Mami biasanya suka kirim pesan ke aku kalau kamu lagi ke rumah Mami." Naida mengekorinya ke dalam kamar.
"Kalau Mami nggak telepon minta aku datang ke rumah, aku nggak bakal ke rumah Mami di tengah pekerjaan yang lagi hectic ini, sih."
Sang istri mengamit lengannya, menatap dirinya sambil tersenyum lembut. "Capek banget ya Mas kerja?"
Ia memalingkan wajah cepat, "Ya, begitulah."
"Mau aku buatkan sesuatu? Atau mau dipijit? Atau mau berendam air hangat?"
"Nggak perlu Noi, aku cuma perlu rebahan."
Seketika tangan yang mengamit lengannya terlepas. Ia melanjutkan kegiatannya untuk bebersih diri. Meninggalkan perempuan itu yang sudah melangkahkan diri keluar kamar.
*_____*
"Agak pedas, tapi enak."
"1-10 kira-kira kwetiau ini berhak dapat nilai berapa?"
"9, minus kerupuk soalnya."
"Oke, besok aku harus stok kerupuk lagi biar dapat nilai 10."
Ia senang bukan main saat Sandi menerima sodoran kwetiau yang ia buat selama laki-laki itu tertidur setelah mandi tadi. Sebetulnya ia membuat kwetiau ini karena merasa bosan ditinggal tidur oleh Sandi. Tentu ia tidak mau mengganggu waktu tidur laki-laki itu. Tepat sekali kwetiau yang ia buat matang, Sandi sudah membuka matanya sedang memainkan ponsel.
"Tolong ambil laptopku, Noi."
Ia bergegas memenuhi perintah Sandi.
"Emang nggak bisa dikerjakan pas lagi di kantor aja, Mas?" Tanyanya melihat Sandi langsung membuka worksheet begitu laptop sudah di tangannya.
Sandi tidak menjawab, justru menarik tangannya untuk kembali duduk di sebelahnya.
"Aku nggak ngerjain pekerjaan seperti yang kamu maksud tadi."
"Oh, terus kamu lagi apa?"
"Ngerjain freelance, aku dapat job untuk buat design grafis dari salah satu brand kemeja."
"Loh, kamu selama ini ambil freelance?"
"Ya, baru sih, setelah menikah sama kamu."
Ia tidak tahan untuk tidak memeluk lengan kekar di sisinya. Menatap sosok tampan yang pekerja keras.
"Kenapa?" tanya Sandi padanya.
"Love you, Mas," ucapnya sembari membentuk hati dari kedua jarinya.
"Tetap bijak kelola keuangan ya, aku percaya kamu bisa atur finansial rumah tangga kita dengan baik."
Ia tersenyum lebar sambil menganggukkan kepala berkali-kali. Ia memang tidak bersekolah tinggi, hanya lulus SMA di daerah kabupaten. Tapi ia tidak buta angka dan operasi perhitungan dasar. Untuk mengurus finansial rumah tangga tentu ia bisa diandalkan. Ia juga bukan seorang yang boros. Kerasnya hidup semasa muda membuat dirinya terbiasa pandai menyimpan uang. Ia sudah paham apa saja yang menjadi prioritas, kebutuhan dan keinginan. Ia akan terus buktikan jika Sandinya tentulah tidak salah memilih dirinya untuk dijadikan istri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Komposisi Cinta (END)
RomanceSegala kebaikan yang ada di muka bumi ini, Naida rasa Sandi memilikinya. Lebih dari sekadar seorang suami, Sandi seperti malaikat. Ya, begitulah yang ia rasa selama menjalani hubungan dengan Sandi. Selama enam bulan pernikahannya dengan Sandi, Naid...