Berbekal keyakinan bahwa hidup hanya sekali, Sandi bertekad untuk tidak menyia-nyiakan setiap momen yang ada.
"Kenapa sih dari tadi aku lihat kamu senyum-senyum sendiri? Sana, cuci muka dulu, Mas!" tegur Naida, mengerling gemas.
"Lagi meromantisasi pagi yang cerah. Soalnya, bangun tidur langsung lihat kamu."
"Ya ampun! Ini kamu ngomong dalam keadaan sadar, kan?" Naida menempelkan tangannya ke dahi Sandi, berpura-pura memastikan.
"Noi..." panggil Sandi lembut.
"Hm?"
"Seberapa besar rasa cinta kamu ke aku?"
Pertanyaan itu membuat Naida terdiam. Rasanya ganjil mendengar Sandi yang tiba-tiba melontarkan kalimat seperti itu. Bukankah biasanya itu pertanyaan yang sering ia tanyakan kepada Sandi?
"Kamu lagi nggak ngeledek aku, kan? Masih pagi, lho," jawab Naida, mencoba mengalihkan rasa gugupnya.
"Jawab dulu, Noi. Seberapa besar?" desaknya.
Naida menghela napas, lalu tersenyum kecil. "Mau tahu banget, ya?"
Sandi membalasnya dengan kerlingan khas, seperti saat ia selalu pura-pura kesal karena Naida memaksanya melakukan sesuatu. Melihat ekspresi itu, Naida tak kuasa menahan tawa.
"Aku akan jawab, tapi kamu duluan. Seperti biasa, seberapa besar rasa cinta kamu ke aku?" tantang Naida.
"Sebesar jumlah umur semua makhluk hidup di dunia ini. Sebesar tinggi semua gunung yang ada, dan seluas permukaan bumi dikali seratus."
Naida melongo mendengar jawaban itu. "Berlebihan banget! Biasanya kamu jawab, 'nggak penting seberapa besarnya, yang penting rasanya nggak pernah berkurang.'"
"Dan itu tetap berlaku," balas Sandi santai. "Apa yang barusan aku sebut itu hanya analogi. Semua jumlah analogi yang aku katakan tadi memang nyatanya nggak pernah berkurang, sama seperti rasa cinta aku ke kamu."
Naida menyipitkan mata, pura-pura menyelidik. "Hah? Cinta ke siapa?"
"Ke kamu, dong."
"Tapi cinta kamu kan udah kebagi dua sama Nindy."
"Enggak dong, Nai. Pohon cintaku untuk Nindy udah layu, hilang seiring perginya dia. Buat kamu, aku nanam pohon cinta yang baru di sini." Sandi menunjuk dadanya. "Dan pohon ini besar, nggak kecil."
"Kenapa jadi begini, sih?" Naida menggumam, wajahnya mulai memerah.
"Apa yang jadi begini? Ngomong-ngomong, terima kasih ya, Nai, udah bantu rawat pohon cintaku selama enam bulan ini. Kamu mau kan, temani aku rawat sampai akhir?"
Naida tersenyum, mencoba menutupi rasa hangat yang tiba-tiba memenuhi dadanya. "Aku nggak terlalu jago rawat pohon, Mas. Tapi kalau soal masak, aku jagonya. Gimana kalau aku bantu racik pohon cinta kamu, biar nggak cuma indah tapi juga nikmat?"
Sandi tertawa mendengar balasan itu. "Oh iya, aku lupa kalau punya istri yang jago masak. Oke, aku serahkan ke kamu untuk bikin pohon cintanya makin nikmat."
Keduanya tertawa lepas, menikmati kehangatan pagi yang sederhana meski penuh kegelian karena masing-masing ucapan yang dilontarkan. Di antara canda dan tawa itu, keduanya merasa semakin yakin bahwa mereka akan selalu menemukan rumah di hati satu sama lain.
"Jadi, seberapa besar rasa cinta kamu ke aku, Noi?" tanya Sandi lagi, suaranya lembut namun penuh rasa ingin tahu.
Naida tersenyum kecil, lalu menjawab, "Besar banget. Tapi kata Mami, nggak boleh taruh cinta yang terlalu besar ke pasangan. Taruh rasa sebagaimana mestinya, katanya. Karena cinta yang besar itu harus ditujukan untuk Sang Pemberi cinta."
KAMU SEDANG MEMBACA
Komposisi Cinta (END)
RomansaSegala kebaikan yang ada di muka bumi ini, Naida rasa Sandi memilikinya. Lebih dari sekadar seorang suami, Sandi seperti malaikat. Ya, begitulah yang ia rasa selama menjalani hubungan dengan Sandi. Selama enam bulan pernikahannya dengan Sandi, Naid...