25

762 50 0
                                    

Sandi dan Naida duduk diam di dalam mobil, hanya suara mesin yang terdengar di tengah keheningan. Sandi menyetir dengan tenang, sesekali melirik Naida di sampingnya. Di luar jendela, langit berawan menggantung rendah, tetes-tetes hujan kecil mulai membasahi kaca depan. Naida menatap keluar jendela, mengikuti gerakan butiran hujan yang perlahan mengalir di kaca.

Sandi sesekali meraih tangan Naida, menggenggamnya dengan lembut. Jalanan tampak sepi, memberi mereka ruang untuk menikmati keheningan tanpa kata-kata. Mereka hanya duduk bersama dalam perjalanan itu, terhubung dalam keheningan dan saling memberi dukungan tanpa harus mengucapkan apa pun.

Mobil berhenti perlahan di depan rumah mereka. Sandi mematikan mesin dan menarik napas dalam, seolah mengumpulkan kekuatan sebelum keluar. Ia bergegas membukakan pintu untuk Naida, yang kemudian turun dengan langkah pelan. Mereka berjalan berdampingan menuju pintu rumah, Sandi mengeluarkan kunci dari sakunya, membuka pintu dengan hati-hati.

Begitu mereka masuk, suasana rumah yang hening menyambut. Sandi menaruh tas kecil mereka di meja, lalu mengajak Naida untuk duduk di sofa. Tanpa banyak bicara, Sandi pergi ke dapur, membuatkan segelas air hangat untuk Naida. Ketika kembali, ia duduk di sampingnya, memberikan gelas itu dengan penuh perhatian. Naida tersenyum tipis, menerima gelas itu dan menyeruput sedikit.

Di rumah, kehangatan dan keakraban membuat mereka merasa sedikit lebih tenang. Duduk berdua, saling mendekat, menikmati kehadiran satu sama lain dalam suasana rumah yang menenangkan, mencoba perlahan menata kembali hati dan perasaan mereka.

"Beberapa hari ke depan kamu harus benar-benar istirahat, ya. Jangan terima pesanan apa pun dulu," kata Sandi lembut. "Semua pesanan yang kamu terima kemarin udah aku batalkan. Aku udah kasih tahu teman-temanmu dan jelasin kondisinya ke mereka."

Selama di rumah sakit, Sandi sempat mengurus ponsel Naida. Ia membalas semua pesan yang masuk, memberi kabar pada teman-teman dan pelanggannya tentang keadaan Naida. Ke depannya, Sandi tahu ia harus bisa membantu Naida untuk lebih menjaga diri dan tidak terlalu sibuk menerima pesanan terus-menerus.

Naida mengangguk pelan, merasa sedikit lega tetapi juga khawatir meninggalkan pesanan-pesanannya. Namun, Sandi menggenggam tangannya dengan hangat, memberi isyarat bahwa sekarang yang terpenting adalah kesehatannya.

Bersandar pada bahu sofa, Naida merasakan kehampaan yang sulit ia jelaskan. Ada yang hilang, ada yang tak lengkap, seolah diantara jeda napasnya terselip sesuatu yang sukar ia pahami.

Sudah beberapa minggu lalu ia berniat untuk berhenti menggunakan suntik KB yang rutin ia jalani, berencana membicarakannya dengan Sandi. Namun, perseteruan mereka tentang kalung itu membuat komunikasi di antara mereka jadi renggang, hingga niat Naida untuk mengutarakan keinginannya pun terlupakan.

Keinginan Naida untuk berhenti KB bukan semata soal anak, melainkan harapan yang perlahan tumbuh seiring usianya yang mendekati angka tiga puluh. Dalam hati ia merasa siap, baik secara fisik maupun mental, untuk menghadapi kehamilan. Secara finansial, ia juga merasa Sandi sudah cukup mapan untuk menyambut seorang anak. Mami juga sering kali menyelipkan obrolan tentang cucu di sela-sela percakapan mereka, yang semakin memperkuat niatnya untuk berhenti KB.

Namun, tak disangkanya, Tuhan memberi keajaiban lebih cepat dari yang ia bayangkan. Kini, ia bertanya-tanya, mungkinkah ini pengaruh dari jamu yang Mami berikan? Jamu yang sempat ditawari Sandi namun ia tolak, karena Naida memang tak begitu suka jamu. Tapi, karena dorongan ingin memiliki anak, ia memberanikan diri mencobanya sedikit demi sedikit saat Sandi sudah berangkat ke kantor selama beberapa hari kemarin.

Kehadirannya begitu cepat, namun perginya pun tak kalah cepat. Takdir memang misterius. Andai saja ia bisa lebih berhati-hati dan peka terhadap tubuhnya, mungkin saat ini ia tengah mengelus perutnya, membayangkan wajah janinnya akan semirip apa dengan Sandi.

Tadi Sandi menangis tersedu-sedu, bukan? Itu berarti Sandi pun merasa kehilangan, kan? Tanda bahwa Sandi juga ingin memiliki anak dengannya, kan?

*________*

“Kalau kamu nggak bisa bantu, ya sewa ART aja, San! Pantas aja Naida sampai keguguran, semua urusan rumah tangga ternyata dia yang kerjain sendiri, kamu sama sekali nggak bantu-bantu.” Mami mengomel tanpa henti kepada anaknya, Sandi, yang hanya bisa diam mendengarkan.

Naida duduk di sebelahnya, menyimak bagaimana Mami menyampaikan keluh kesahnya dengan nada gusar. Sandi tampak pasrah, wajahnya memancarkan rasa bersalah yang dalam.

“Mami tinggal di sini dulu deh, seminggu,” lanjut Mami, tegas. “Mami mau lihat kamu kalau di rumah ngapain aja.”

“Mi, serius? Lagian Naida nggak pernah ngeluh, jadi Sandi kira dia nggak perlu bantuan asisten rumah tangga,” sahut Sandi, mencoba membela diri.

“Jadi suami tuh nggak perlu nunggu keluhan istri dulu! Harusnya peka, San! Rumah segede ini, siapa yang bakal bersihin dan urus semuanya kalau bukan Nai? Kamu pikir nggak capek?”

Naida yang menyaksikan perseteruan itu akhirnya menyela, dengan suara tenang. “Mi, Naida nggak kecapekan, kok, kemarin. Cuma kebetulan aja lagi kurang hati-hati waktu naik kursi.”

Mami menatap Naida tajam. “Ya, itu! Kamu sampai nggak bisa jaga keseimbangan di kursi karena badanmu udah terlalu lelah, Nai! Paginya kamu udah sibuk nyuci, nyapu, jemur baju, masak, ke pasar, bahkan bikin bolu. Wajar aja kalau badanmu udah di tahap nggak kuat berdiri tegak lagi di atas kursi. Makanya kamu oleng terus jatuh.”

Sandi melirik Naida, seolah memohon agar ia tidak lagi membela diri. Naida hanya diam, paham bahwa Sandi merasa bersalah, meski kata-katanya tadi tidak menenangkan Mami sedikit pun.

Akhirnya, Mami melunak. “Begini aja. Mami juga nggak mau ninggalin rumah begitu aja cuma buat ngawasin anak satu ini. Besok Mami bakal suruh Mbak yang kerja di rumah pindah tugas ke sini, biar Naida bisa istirahat total. Kamu izin kerja dulu ke Om Heri, San, bilang kondisi Naida sekarang seperti apa.”

“Iya, Mi,” jawab Sandi akhirnya, tanpa argumen lagi.

Dengan suasana yang mulai mereda, Naida berharap kehadiran ART bisa mengurangi bebannya dan mengembalikan ketenangan dalam rumah ini.

Mami mendekat, memeluknya erat dengan kehangatan yang tak tergantikan. Tangan Mami mengusap punggungnya perlahan, lembut menenangkan seolah menyalurkan kekuatan yang tak terlihat. Meski janin yang pernah menjadi calon cucunya kini tak lagi ada, Mami tetap membuka pelukan, memberikan tempat untuk larut dalam kehangatan seorang ibu.

Lewat Mami, ia mengerti bahwa dipeluk oleh seorang ibu di saat-saat paling rapuh ternyata seperti ini rasanya—seperti kembali ke rumah yang tak pernah hilang, seperti menemukan tempat berteduh di tengah badai. Dalam pelukan Mami, ia merasakan kekuatan yang lahir dari keikhlasan, kekuatan yang tak perlu kata-kata, hanya pelukan yang tulus. Bersama Mami, kesedihan yang mendera seolah sedikit berkurang, dan ada kelegaan yang mulai hadir di balik kalut di hatinya.

Padahal Mami baru saja terjatuh kemarin, tubuhnya pasti masih terasa sakit. Dirinya bahkan belum sempat bertanya bagaimana keadaan Mami. Namun, kini Mami ada di hadapannya, seolah-olah tak pernah merasa sakit atau lelah, hadir sebagai sosok penuh kekuatan yang memberikan segalanya tanpa diminta. Sosok yang, meskipun dilanda rasa kehilangan yang sama, tetap utuh dan kuat hanya demi menenangkan anak di pelukannya.

Dalam pelukan itu, Naida merasakan betapa cinta seorang ibu tak pernah goyah, bahkan di saat paling sulit. Dan di sanalah ia belajar, bahwa cinta seorang ibu adalah kekuatan paling murni yang bisa ia temukan di dunia.

Bisakah ia menjadi seperti Mami? Menjadi seorang ibu yang dipenuhi cinta kasih, tempat di mana anaknya kelak menemukan perlindungan dan kedamaian? Meski ia tumbuh sebagai anak yang tak selalu merasakan hangatnya pelukan atau cinta yang utuh dari orang tua, masihkah ada ruang di dalam hatinya untuk membagikan cinta sebesar itu?

Dalam dirinya bersemi keraguan, namun juga harapan—bahwa ia bisa, suatu hari nanti, menjadi seorang ibu yang penuh kasih, seperti Mami. Mungkin ia tak punya kenangan akan cinta tanpa syarat yang mengisi masa kecilnya, namun siapa tahu, luka yang ia simpan justru bisa membuatnya paham betapa berharganya cinta yang utuh.

Dan dalam perjalanan hidup ini, ia berjanji pada dirinya sendiri, ketika tiba saatnya ia menjadi seorang ibu, ia ingin belajar mencintai dengan segenap jiwa, mencintai dengan keberanian untuk memberi tanpa syarat. Sebab ia tahu, dari cinta yang tuluslah ia akan mampu menjadi pelindung, menjadi tempat berteduh, menjadi sumber kekuatan—menjadi ibu yang ia impikan, ibu yang kelak akan menanamkan cinta di hati anaknya, seperti yang ia dambakan di dalam hatinya.

Komposisi Cinta (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang