29.| Kehilangan

24 1 1
                                    

Aku masih bingung sma ending cerita ini. Saran nya dong! endingnya happy atau sad? endingnya happy tuh karena Gilang mualaf atau sad ending karena Layla menjalani hidup dengan baik tanpa Gilang? atau justru... Gilang, Layla, dan Fajri punya kehidupannya masing-masing sehingga tidak terlibat lgi satu sama lain?!??! AKSKSKKAJSJSJ BINGUNG BGTTT

Hahh, sekarang aku tau pentingnya outline sebelum menulis cerita 🫠. Terima kasih untuk kmu yang sudah memaklumi kesalahan penulis (anjay) pemula ini. Apa sih, aku gak jelas banget deh....

.

.

.

Happy Reading

Layla duduk di samping jenazah orangtua-nya yang terbujur kaku dengan bibir yang pucat. Dia menatap tangan Bundanya dengan tatapan kosong. Berharap  bahwa tangan itu akan kembali bergerak dan membantunya menyisir rambut. Berharap bahwa tangan itu akan kembali memasak hidangan lezat untuk camilan. Sejak pagi, banyak orang yang datang ke rumahnya dan mengucapkan, "Turut berduka cita, semoga amal baik almarhumah dan almarhum diterima dan ditempatkan di tempat terbaik di sisi-Nya."

Layla menghela napas pelan lalu pergi ke teras belakang rumah.

PoV Layla

Aku masih enggan untuk berbicara. Lelah karena terlalu lama menangis dan meraung kencang. Walaupun mustahil, aku masih dan selalu ingin Bunda dan Ayah menemaniku.
Aku berharap bahwa jiwa yang telah meninggalkan raga Bunda dan Ayah kembali lagi. Sekali lagi, itu mustahil. Jangan terlalu berharap pada orang yang sudah meninggal. Itu alasan mengapa tidak ada sujud di dalam tata cara sholat jenazah. Terlalu nyaman dengan keheningan dan kesejukan udara di teras rumah, aku melamun.

Tepukan di pundak membuatku kembali tersadar. Menolehkan kepala, aku melihat Fajri menatapku dengan iba. Tidak. Aku benci tatapan itu. Aku benci dikasihani. Aku benci dianggap lemah.

Dia mengambil posisi dan duduk di sampingku. Fajri menghela napasnya. "Turut berduka cita. Semoga–"

Aku mengangkat telapak tangan, tanda bahwa aku ingin Fajri menghentikan ucapannya. Dia menurut dan menghentikan ucapannya lalu fokus memandang ke depan– ke halaman belakang rumah yang mungkin tak akan terurus lagi karena Bunda dan Ayah–selaku pengurusnya telah berpulang.

Tak ada yang istimewa di sana, hanya sekedar lahan kecil yang dimanfaatkan oleh Bunda. Bunda menanam cabai, tomat, bawang daun, dan tanaman hidroponik sawi hijau. Bagaimana nasib kebun kecil ini nanti, ya?

Tiga puluh menit telah berlalu, dan Fajri masih belum beranjak pergi dari sisiku. "Ada apa? Ada hal yang ingin dibicarakan?" Tanyaku.

Fajri mengangguk sebagai jawaban. "Aku sayang banget sama Bunda dan Ayah. Saat kamu pertama kali membawa aku ke rumah ini, mereka menyambut aku layaknya kawan lama. Mereka tak henti-hentinya memberikanku kasih sayang. Saat aku sedih, Ayah datang dan mengajakku bercengkrama hingga aku lupa bahwa aku sedang bersedih. Mereka adalah orang baik yang kebaikannya takkan pernah terlupakan. Mungkin kamu muak mendengar kalimat 'Turut berduka cita,' dan segala macam doa yang dipanjatkan untuk mereka. Tapi, kita sebagai manusia hanya bisa berdoa pada Tuhan. Aku pengen nanya hal ini sama kamu."

Layla Dan Kehidupannya Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang