10. Dunia Ini Berputar

990 107 3
                                    

SELAMAT MEMBACA

---------------------

"Perlahan telah

Kau ajarkan rasa

Menerima rasa

Baik buruk yang ku punya

Kau panggil jahat yang menyelimuti

Sampai kutahu dunia tak lagi menyakiti"

(Nadin Amizah - Di Akhir Perang)

●○•♡•○●

•• sebab, selain dunia yang terus berputar, diri kita juga turut bertumbuh. layaknya sebuah lingkaran yang tidak memiliki sudut, puncak dan dasar akan selalu berputar silih berganti ••

Setelah mendengar berbagai perdebatan antara Sapta dan Mas Abi, Jantera lebih memilih untuk pergi keluar. Jantera pergi ke tempat di mana ia bisa melepaskan sedikit penat yang akhir-akhir ini rasanya semakin sulit untuk ia terima dengan tenang.

Jantera mengeluarkan sebungkus rokok dari saku celananya. Jantera mengeluarkan salah satunya, lalu ia simpan di bibirnya. Cahaya kecil dari pemantik yang ia nyalakan, cukup untuk menerangi dirinya dari gelapnya pemukiman yang minim penerangan, meskipun hanya sesaat.

Kepulan asap terus keluar dari mulut dan hidung Jantera. Sesekali, ia menundukkan kepalanya. Rasanya, situasi kali ini lebih sulit dari situasi-situasi sebelumnya. Jika dulu hanya ada kesulitan, kini mereka harus menghadapi perpecahan. Terlebih, Jantera tidak menyangka jika apa yang selalu ia ucapkan pada Sapta, nyatanya memang benar-benar menjadi pegangan hidup untuk Sapta. Selama ini, Jantera mengira jika segala yang ia katakan pada Sapta, hanyalah sebatas angin lalu adik bungsunya itu.

"Udah aku duga kalo Mas ada disini," kata Dika seraya berusaha naik ke atas tembok.

"Lo berdua ngapain kesini?" tanya Jantera ketika menoleh ke arah Dika, namun ternyata ada Sena turut dibelakangnya.

Dika dan Sena masih berusaha untuk naik ke atas benteng itu. Sesekali, Dika gagal menaikinya.

"Lo bisa nggak sih, Mas? Yang bener! Kaki lo hampir kena muka gue ini!" gerutu Sena.

Dika melirik ke arah Sena yang masih berada di bawahnya. "Maaf, Na! Nggak sengaja gue," ucap Dika.

Jantera yang mendengar itu pun merasa jengah. Bisa-bisanya dua adiknya yang kelakuannya seperti titisan siluman itu datang mengganggu ketenangannya.

"Emang bangsat lo berdua! Sini dah gua bantu!" hardik Jantera seraya membantu Sena dan Dika untuk naik.

●○•♡•○●

Muram, satu kata yang mendeskripsikan Sapta saat ini. Setelah perdebatannya dengan Mas Abi, Sapta tidak keluar kamar. Hanya Kara yang setia berada di sampingnya. Sejujurnya, Kara juga marah atas apa yang sudah dilakukan Mas Abi dan Mas Raga. Namun, apa boleh buat? Toh semuanya sudah terjadi. Sekali pun Kara harus marah-marah pada kakak pertama dan keduanya itu pun tidak akan membuat kedua orang tua mereka seketika langsung kembali.

"Abang nggak bakal nyalahin kamu karena udah debat sama Mas Abi. Tapi, Abang mau denger. Apa yang bikin kamu sampe berantem?" tanya Kara berusaha selembut mungkin.

IN THE ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang