21. Under The Rain

919 123 4
                                    

SELAMAT MEMBACA ❤️

---------------------

"Perlahan akan
Kuajarkan cara
Menanam menuai
Baik buruk di dunia

Ku warnai tanganmu yang mati
Biar kau lihat dunia tak lagi menyakiti."

(Nadin Amizah - Di Akhir Perang)

●○•♡•○●

"Abi, kamu udah tahu apa yang terjadi?" tanya Pak Hendra. Salah satu senior Mas Abi ketika mereka tengah membersihkan lantai 15 gedung perkantoran itu, yang selalu sepi karena hanya dipakai disaat ada acara saja.

Mas Abi mengangguk. "Udah, Pak. Kemarin pas pulang kantor, anak-anak dari divisi marketing pada ngobrol di parkiran basement deket pos security. Ada Pak Maman juga disana. Kayaknya, nggak mungkin deh Pak kalau ada orang internal yang nggak tahu apa yang lagi terjadi di dalam kantor," ujar Mas Abi.

Pak Hendra mengangguk seraya menyandarkan alat kebersihan yang sedari tadi ia pegang ke dinding.

"Bingung banget saya, Bi. Saya juga sekarang lagi sibuk nyari-nyari kerjaan lagi. Karena, udah pasti kita semua bakal di berhentikan dulu. Saya masih punya anak bayi, dan juga anak sulung saya yang tahun depan masuk SMA," tutur Pak Hendra.

Mas Abi pun hanya bisa menghela napas berat. Mas Abi paham betul bagaimana keresahan Pak Hendra.

"Kamu belum menikah, kan?" tanya Pak Hendra kemudian.

Mas Abi menggeleng. "Belum, Pak. Saya juga belum kepikiran menikah."

"Loh, kenapa? Kamu ini ganteng, pekerja keras, gigih, apa lagi?" tanya Pak Hendra.

Mas Abi tersenyum simpul. "Saya masih punya 6 orang adik yang harus saya utamakan dulu kelayakan hidupnya, Pak. Untuk kami sendiri saja susah. Saya nggak mau membebani istri saya nanti disaat saya belum mampu," tutur Mas Abi.

"Kan adik-adik kamu masih tanggungan orang tua kamu, Bi. Bukan kewajiban kamu."

"Justru itu, Pak. Kami udah nggak punya orang tua. Kalau bukan saya, siapa lagi yang akan menghidupi mereka?" Mas Abi menatap Pak Hendra dengan tatapan nanar.

Pak Hendra tertegun, lalu menepuk pundak Mas Abi. "Maaf sebelumnya. Kamu yatim piatu, Bi?" tanya Pak Hendra.

Mas Abi menggeleng. "Saya bingung harus menjawab apa, Pak. Ibu saya sudah meninggal 15 tahun yang lalu saat melahirkan adik bungsu saya. Dan ayah saya ..." Ada sedikit jeda dari penuturan Mas Abi. "Ayah saya nggak tahu dimana, Pak. Sudah bertahun-tahun pergi, dan sampai sekarang nggak pernah ada kabar lagi," tutur Mas Abi setelahnya.

Pak Hendra tertegun. "Jadi, semuanya kamu yang biayain, Bi?" tanya Pak Hendra.

Mas Abi menggeleng. "Nggak, Pak. Adik saya yang pertama dan kedua sudah bekerja. Dan adik-adik saya yang lain, mereka masih menuntut ilmu. Doakan saya ya, Pak. Semoga saya bisa membuat adik-adik saya memiliki pendidikan dan kehidupan yang layak," tutur Mas Abi.

Pak Hendra yang mendengar itu pun hanya bisa mengelus punggung Mas Abi. Pak Hendra tidak pernah menyangka, jika pemuda se-pendiam Mas Abi, ternyata ada kisah pahit di belakangnya.

●○•♡•○●

Kantin, selalu menjadi tempat utama yang di tuju para siswa ketika jam istirahat tiba. Berbagai macam makanan, dan juga jajanan ringan ada disana. Namun, tempat itu tidak pernah menjadi tujuan utama bagi Kara. Jika saat jam istirahat tiba, Kara pasti selalu ada di sekitaran lapangan untuk menggambar, atau sekadar mencari angin.

IN THE ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang