SELAMAT MEMBACA ❤
---------------------
"Seribu pelukan pun takkan cukup
Mengobati rinduku padamu
Biarkan alam yang mengaminkan
Kisah kita berdua untuk selamanya."(Raissa Ramadhani - Seribu Pelukan)
●○•♡•○●
Suasana pagi yang biasanya hangat, pagi itu terasa tegang. Kara, yang biasanya terlihat acuh tak acuh, kini mendadak berubah.
"Kenapa nggak ada seorang pun yang bangunin aku?!" tanya Kara dengan nada datar.
Tidak ada satu pun dari ketiga kakaknya yang menjawab. Entahlah, rasanya segalanya terasa runyam sekarang.
"Dekㅡ"
"Aku dianggap ada nggak sih di rumah ini?!" tanya Kara memotong omongan Sena.
Mas Raga hanya bisa diam. Bukan, bukan karena Mas Raga tidak peduli pada kemarahan Kara. Melainkan, Mas Raga merasa bersalah sekarang.
Meski pun terlihat seperti hal yang sepele, namun Mas Raga sadar bahwa tidak pernah ada hal yang sepele bagi Kara.
Apalagi, jika itu menyangkut adiknya, Sapta.
"Selama ini, aku tuh ngerasa bodoh banget jadi orang, tahu nggak, sih?! Dari masalah ibu sama bapak, Mas Abi, Bi Inah, dan bahkan sampe sekarang masalah Sapta pun aku nggak di ikut andilkan. Se-sepele itu ya aku bagi semuanya? Se-nggak dewasa itu kah aku dimata semuanya?!"
"Kara, nggak gitu. Gue juga sama nggak di bangunin. Tapiㅡ"
"Mas, Mas ngerti kan kalau perasaan setiap orang itu berbeda? Adik Mas banyak. Tapi, adik aku cuma satu! Se-nggak berguna itu kah aku sebagai seorang abang?!" Lagi-lagi, Kara memotong ucapan kakaknya. Kali ini, Dika.
Dika yang mendengar itu pun tiba-tiba saja emosinya tersulut. "Ya terus apa masalahnya kalau adek gue banyak? Lo pikir gue bakal santai-santai aja gitu kalau misalnya salah satu adek gue nggak ada? Sekali pun itu lo yang sakit, terus lo pergi, gue nggak akan pernah rela, Kara! Lo pikir gue bakal ngomong 'oh, nggak pa-pa gue kehilangan adik satu. Toh adik gue masih banyak' gitu maksud lo? Gila lo, ya!" ucap Dika.
"Ya lo juga seorang kakak, Mas! Harusnya lo lebih bisa memahami perasaan kayak gini!" kata Kara.
"DIAM!!!"
Mas Raga yang sedari tadi diam pun langsung berteriak menyuruh Dika dan Kara untuk diam.
Kara yang mendengar itu pun langsung berlari ke kamarnya untuk mengambil tas, lalu langsung pergi ke sekolah tanpa sarapan dan tanpa berpamitan.
Sena yang melihat itu pun hanya bisa menarik napas panjang seraya menggelengkan kepalanya.
"Maksud aku nggak gitu, Mas," kata Dika pada Mas Raga.
Tanpa disadari, setetes air mata Dika jatuh.
Mas Raga yang melihat itu pun langsung mengusap pelan punggung Dika. "Mas paham, Dik. Mas paham perasaan kamu, dan maksud kamu. Tapi, kita juga nggak bisa sepenuhnya nyalahin Kara. Ada kesalahan Mas sama Mas Abi disini. Mas minta maaf ya, Dik, Na. Maafin Mas sama Mas Abi yang udah nyebabin ini semua," kata Mas Raga.
KAMU SEDANG MEMBACA
IN THE END
Ficção AdolescenteSetiap orang, pasti memiliki 'rumah'. Sayangnya, ada beberapa 'rumah' yang terpaksa harus berdiri tanpa atap dan penyangga. Semakin dewasa, menjadikan jiwa tujuh bersaudara ini luluh lantak. Kepergian kedua orang tua mereka, membuat mereka harus be...