28. The Moment

859 119 11
                                    

SELAMAT MEMBACA ❤️

---------------------

"Tak banyak yang harus dilakukan

Hal kecil terkadang bermakna besar

Sesuatu yang jarang kerap membekas

Isilah itu bersama denganku."

(Daun Jatuh - Momen)

●○•♡•○●

Mas Abi, Kara dan juga Sapta tengah sibuk menyiapkan acara penyambutan Dika. Bukan penyambutan besar-besaran. Hanya penyambutan sederhana untuk mengapresiasi perjuangan Dika. Mas Abi memasak makanan istimewa yang bisa mereka bertujuh nikmati bersama-sama.

Sebenarnya, Mas Abi menyesal tidak bisa menemani Dika. Namun, apa boleh buat? Kehidupan mereka tidak seperti kehidupan remaja pada umumnya.

Mas Abi memasak soto ayam sebagai menu utama mereka. Jika semua orang berpikir bahwa Mas Abi itu tidak bisa memasak, jawabannya memang iya. Tapi, berterimakasih-lah pada Mas Raga. Setiap Mas Raga memasak, Mas Raga selalu mencatat resep dan juga cara memasaknya. Itu pun atas permintaan Sapta. Katanya, biar nanti dia bisa masak sendiri-meski pun belum pernah dilakukan sama sekali-.

Dan Sapta, benar-benar mewujudkannya sekarang. Dibantu oleh Mas Abi dan juga Kara.

"Kok kamu nggak bilang sama Mas kalau punya buku itu?" tanya Mas Abi seraya mencuci bersih ayam yang akan dimasaknya nanti.

"Kan aku yang nggak bisa masak. Aku kira Mas Abi tuh bisa masak karena suka bantu Mas Raga di dapur," kata Sapta polos.

Mendengar itu, Kara yang tengah mengupas bawang pun seketika tertawa. "Nih ya, Ta! Kalau kamu mau tahu, Mas Abi di dapur tuh cuma bantuin Mas Raga nyuci sayurannya doang. Sekalinya pernah ikutan masak, ketuker dah tuh garam sama micin. Untung waktu itu Mas Raga lagi dalam mode sabar," ceplos Kara seraya tertawa.

Mas Abi hanya bisa menggaruk kepalanya yang tak gatal sambil tertawa tipis. Mau protes pun bagaimana? Apa yang dikatakan oleh adiknya itu memang semuanya benar.

Namun, sesaat kemudian, bokong Kara di tepuk agak keras oleh Sapta. "Abang! Abang nggak boleh gitu! Abang tuh berdosa banget ya gituin kakak sendiri. Nggak baik itu!" kata Sapta.

Kara yang mendengarnya pun seketika melongo tak percaya. "Heh, tuyul! Lo harusnya mikir! Lo berdosa nggak sama gue? Lo tiap hari tuh menguji kesabaran gue kalau lo mau tahu! Kurang sabar apa lagi gue sebagai Abang?!" sembur Kara tak mau kalah.

Namun, Sapta yang mendengarnya pun terlihat acuh tak acuh, dan malah asyik menyemili kerupuk udang yang memang paling pertama matang-karena memang hanya itu yang paling mudah untuk disajikan-.

"Abang, Abang tuh nggak boleh manggil aku tuyul! Sedangkan, tinggi badan Abang sama aku aja nggak beda jauh. Aku masih dalam masa pertumbuhan! Aku masih bisa tinggi. Kalau Abang, kan udah mau menuju tua. Tumbuhnya lama," kata Sapta polos.

Mendengar itu, tawa Mas Abi sudah tak bisa tertahan lagi. Tadinya, Mas Abi ingin menjadi penengah diantara kedua adik bungsunya itu. Nyatanya, ucapan Sapta yang lolos tanpa melalui penyaringan itu mampu membuat pertahanannya roboh.

Berbeda dengan Kara. Kara yang mendengarnya pun hanya bisa menarik napas dalam untuk meredam amarahnya. Kara bersumpah, Sapta tidak se-rusuh itu jika sedang bersama kakak-kakaknya yang lain. Tapi, jika bersama Kara, energi Kara saja rasanya tersedot habis oleh adik satu-satunya itu.

IN THE ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang