3. Segelintir Tawa Diantara Luka

1.5K 160 16
                                    

SELAMAT MEMBACA ❤️

(Direkomendasikan sambil mendengarkan lagu Nadin Amizah - Kekal)

---------------------

Ditengah kerinduan yang mendalam, juga pertanyaan yang belum memiliki jawaban yang pasti, tak lantas membuat senyuman ketujuh kakak-beradik ini hilang begitu saja.

Bagi mereka, hangat tak selalu berbentuk sesuatu yang mewah dan megah. Dengan duduk melingkar sambil membicarakan hal-hal yang acak, membuat segalanya terasa sempurna, meski ada lubang hampa dalam jiwa mereka masing-masing. Dan kehangatan yang paling berharga bagi mereka, adalah pelukan dari satu sama lain.

"Bang, gimana tadi di sekolah kamu?" tanya Mas Dika pada Kara yang tengah menyusun puzzle bersama Sapta.

"Ya ... gitu, deh. Otak aku kenapa nggak pinter kayak Mas, ya?"

"Soalnya, gue pinter." celetuk Dika, dan mendapat geplakan kipas dari Mas Jan.

"Itu bukan jawaban, kampret!" ketus Mas Jan.

Sapta yang melihat kedua kakaknya itu berusaha menahan tawa.

"Ya terus gue mesti gimana sih, Mas? Salah mulu gue di mata lu!" kata Dika dengan dramanya.

"Mulai! Ini mau gue slepet apa gimana?" Raga yang sedari tadi diam, kini mulai mengeluarkan taringnya.

Dika menatap Raga sinis. "Ini lagi emosian mulu. Cepet tua tau rasa!"

Tanpa aba-aba, Raga langsung menarik sarung yang melingkar di leher Kara untuk menyelepet Dika.

"MAS!! YA ALLAH, AKU KECEKEK!"

Tangan Raga di tepuk keras oleh Kara yang tercekik.

"Ya Allah, Bang. Nggak pa-pa kamu?" Raga langsung mengecek leher Kara. Dengan sedikit panik tentunya.

"Nggak pa-pa, Mas. Cuma hampir mati doang dikit." kata Kara yang langsung mendapat tawa dari si bungsu Sapta.

"Mas? Liat, tuh! Mas Raga menganiaya Kara. Parah banget sih. Aku kalo jadi Mas, aku marah banget sih, asli." Adu Sena yang tiba-tiba seperti sumbu kompor yang sudah siap di bakar pada Mas Abi.

"Selain marah, bakal ngamuk juga nggak sih, Na?" imbuh Jantera bagai api yang menyulut.

Raga menghela napas berat. "Mas, Raga udah nggak punya tenaga buat marah dan membela diri."

Mendengar itu, tawa Mas Abi malah semakin pecah. Di sela-sela pelik dan perihnya jalan hidup yang sedang dijalani, Mas Abi sangat bersyukur karena diberi anugerah enam orang adik yang bermacam-macam sifatnya, namun itulah harta sesungguhnya yang Mas Abi punya.

"Aku keluar dulu, Mas. Mau ikut nggak lu?" tanya Jantera pada Sena.

"Mau kemana, Jan?" tanya Mas Abi.

"Ya ... biasa. Cari-cari angin lah, Mas."

"Ya udah." balas Mas Abi.

"Sena doang yang diajak, anjir! Lu jangan pilih kasih lu jadi abang! Nanti di omelin Mas Abi noh!" protes Dika yang tak terima Jantera hanya mengajak Sena.

IN THE ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang