SELAMAT MEMBACA ❤️
(Direkomendasikan sambil mendengarkan
Nadin Amizah - Di Akhir Perang)DILARANG PLAGIAT / COPAS‼️
---------------------
Hamparan sawah yang membentang, juga langit yang dihiasi oleh layang-layang, menjadi pemandangan yang paling menyenangkan bagi Jantera kecil. Pasalnya, Bapak selalu membawa Jantera berjalan-jalan di sore hari. Karena, setiap Bapak pergi bekerja di pagi hari, Jantera belum bangun. Kalau pun sudah bangun, Jantera pasti merengek minta ikut, dan pada akhirnya merepotkan Mas Abi yang akan berangkat ke sekolah.
"Pak, kok layangan bisa terbang, ya?" tanya Jantera sambil matanya terus menatap kagum ke atas langit.
Bapak lantas tersenyum. "Karena, layangannya mampu melawan angin. Semakin besar angin yang dihadapinya, maka semakin tinggi pula layangan itu terbang." ujar Bapak.
"Kalo nggak ada angin, nggak bisa terbang emang?" tanyanya lagi.
Bapak mengelus kepala Jantera, yang saat itu tingginya masih sepinggang Bapak. "Bisa. Tapi, kemungkinannya kecil. Kalau mau terbang tinggi, ya layangannya harus melawan angin. Dan kita pun harus bisa mengendalikan benangnya, Jan. Kalau kitanya nggak bisa mengendalikan benangnya, ya putus. Sama kayak hidup, Jan. Semakin kamu ingin terbang tinggi, semakin berat juga rintangan yang akan kamu hadapi." tutur Bapak.
Jantera menggaruk kepalanya bingung. "Itu maksudnya apa ya, Pak?"
Bapak lantas tertawa melihat Jantera yang serba ingin tahu, namun ternyata memang pola pikirnya masih belum mampu memaknai sebuah perumpamaan. "Nanti kalau kamu udah besar, kamu bakal ngerti maksud Bapak."
Jantera menganggukan kepalanya. "Nanti aku tanya Mas Abi, deh."
"Udah mau maghrib, Jan. Pulang, yuk! Pamali! Bapak juga mau masak bubur buat Sapta." kata Bapak seraya menggandeng tangan Jantera.
"Aku juga mau, Pak. Malam ini aku mau makan bubur sama kayak si Adek. Aku bosen makan tahu terus." kata Jantera.
Bapak lantas tersenyum. "Iya, Nak. Bapak buatkan lebih, ya. Doain Bapak kerjaannya lancar. Biar nanti kita bisa makan ayam, ya?"
Mendengar itu, Jantera mengangguk kegirangan, lantas berlari kecil dan bersenandung dengan tangan yang digenggam Bapak.
●○•♡•○●
Hari yang sudah berganti, tak lantas membuat kehidupan Jantera terhenti. Sudah malam hari, namun Bapak masih juga belum pulang seperti biasanya. Jantera terus menunggu Bapak dengan harap-harap cemas.
"Bapak kok belum pulang ya, Mas?" tanya Jantera.
Mas Abi yang berbaring di samping Jantera pun bangun, di ikuti oleh Jantera. Seketika mata Mas Abi rasanya memanas. Rasanya Mas Abi ingin menumpahkan segala kesakitan dalam batinnya ketika melihat Raga yang terisak, dan tengah mengelus-elus Sapta bayi yang tengah tertidur dengan damai. Tak tahu dunia apa yang akan dihadapinya di masa depan.
"Mas, Bapak mau pergi kerja. Yang ini jauh. Bapak mau cari uang yang cukup buat kita. Mas jagain Jantera, ya? Bilang Bapak kerjanya bakal jarang pulang. Nanti biar Jantera bisa makan ayam." kata Bapak. Saat itu, Bapak berangkat jam 4 pagi, dan hanya membangunkan Mas Abi untuk berpamitan.
"Jan, Bapak lagi kerja. Bapak kerjanya jauh. Nanti Bapak pulang, kok." kata Mas Abi.
"Ya udah. Aku tidur aja. Besok aku bangun, pasti Bapak udah pulang." kata Jantera seraya menarik sarung yang ia jadikan selimut.
KAMU SEDANG MEMBACA
IN THE END
Fiksi RemajaSetiap orang, pasti memiliki 'rumah'. Sayangnya, ada beberapa 'rumah' yang terpaksa harus berdiri tanpa atap dan penyangga. Semakin dewasa, menjadikan jiwa tujuh bersaudara ini luluh lantak. Kepergian kedua orang tua mereka, membuat mereka harus be...