SELAMAT MEMBACA ❤️
---------------------
"Di seluruh dunia
Engkau hati yang paling berharga
Tak bisa kubayangkan
Ku kehilanganmu."(Nisya Ahmad - Di Seluruh Dunia)
●○•♡•○●
Setiap perubahan besar, selalu berawal dari hal dan langkah kecil yang tidak mengenal kata henti.
Kerikil yang sempat melukai telapak kaki, bahkan benteng yang menyatakan ketidak-mungkinan, bisa teratasi dengan teguhnya pendirian dan juga keyakinan.
Dalam langkah disetiap harinya, dan entah sudah berapa banyak doa yang dirapalkan, mengantarkan Mas Abi dan keenam adiknya sampai di titik ini.
Bukan kehidupan mewah yang selalu mereka harapkan. Dengan mereka bisa hidup dengan layak, dan masih bertujuh pun itu sudah menjadi sebuah pencapaian paling indah.
Semenjak pindah rumah, kehidupan mereka perlahan berubah. Tak ada lagi drama berebut kamar mandi dengan orang lain, tak ada lagi atap-atap bocor, dan tak ada lagi teriakan-teriakan pertengkaran antar tetangga, yang setiap hari mereka dengar di lingkungan lama mereka.
"Jan, motor kamu udah perlu di servis itu!" peringat Mas Abi.
"Iya, Mas. Tapi, masih tetep gitu terus. Kayaknya, emang harus ganti. Soalnya, ini juga masuknya ke kebutuhan kita," kata Jantera. "Tapi, nanti deh aku mau ngatur-ngatur dulu keuangannya," imbuhnya seraya meminum teh hangatnya.
"Itu si Adek sama si Abang suruh berangkat pake angkot aja, Mas. Kasian takutnya telat. Nggak pa-pa, biar ongkosnya aku yang bayar," kata Jantera.
●○•♡•○●
Semenjak pindah rumah, jarak sekolah Kara dan juga Sapta otomatis semakin jauh. Biasanya, Sapta di antar oleh Jantera, dan Kara berangkat sendiri naik ojek.
Meski usia Kara sudah 17 tahun, Mas Abi belum memperbolehkan Kara membawa kendaraan sendiri. Selain belum memiliki surat-surat lengkap, motor yang mereka miliki pun sudah tidak begitu layak untuk sering-sering dipakai.
"Uang jajan kamu yang kemaren abis banget, Ta?" tanya Kara seraya memakai seragam sekolahnya.
Sapta yang tengah membereskan isi tasnya pun menggeleng. "Nggak, dong. Aku nggak boros," katanya.
Kara yang mendengarnya pun terkekeh. Ternyata, meski kini mereka sudah terbilang cukup, Sapta tidak pernah berubah. Yang berbeda hanyalah pakaiannya yang kini tak lagi lusuh.
"Dek, Mas boleh masuk, nggak?"
Terdengar suara dan ketukan pintu. Sapta yang mendengarnya pun langsung membuka pintu kamarnya.
"Bang, kamu naik angkot sama Adek, ya? Mas Jan lagi nggak bisa nganter," ujar Mas Abi.
"Ngambek lagi ya itu motornya?" tanya Kara seraya memasukkan buku ke tasnya.
Mas Abi hanya mengangguk.
"Kalian masih ngapain? Itu cepet sarapan dulu! Mas Dika, Mas Sena sama Mas Jan udah nunggu! Mas udah bikin sayur sop. Kamu minta itu kan, semalem? Cepet, keburu dingin!" perintah Mas Raga yang tiba-tiba muncul di belakang Mas Abi.
KAMU SEDANG MEMBACA
IN THE END
Teen FictionSetiap orang, pasti memiliki 'rumah'. Sayangnya, ada beberapa 'rumah' yang terpaksa harus berdiri tanpa atap dan penyangga. Semakin dewasa, menjadikan jiwa tujuh bersaudara ini luluh lantak. Kepergian kedua orang tua mereka, membuat mereka harus be...