SELAMAT MEMBACA ❤️
---------------------
"Tiada yang bilang badainya kan reda
Berhadapan dengan cahaya yang kerap membutakan
Tiada yang bilang jawaban kan datang
Jauh dari seram yang selama ini kubayangkan
Semua aku dirayakan."(Nadin Amizah - Semua Aku Dirayakan)
●○•♡•○●
•• kebahagiaan itu selalu ada. apa pun itu bentuknya. sayangnya, kita yang terlalu berlarut-larut dalam memanjakan luka ••
Di penghujung hari yang semakin beranjak menuju malam, bersamaan langit yang semula berwarna biru hingga kini berwarna jingga, menemani kelima bersaudara itu menghabiskan waktunya bersama. Hal yang semula jarang terjadi, kini perlahan berubah dan menghangat.
"Mas ... Mas!" seru Dika seraya berlari menghampiri Jantera dan Sapta yang tengah mengumpulkan ikan hasil tangkapan mereka.
"Apaan?"
"Mas, please banget ini mah. Gue balik duluan ya? Gue kebelet. Gue bawa si Sena, dah! Ntar motornya dia yang bawa lagi kesini," kata Dika.
"Kok gue?!" protes Sena yang mengikutinya dari belakang.
"Na, lo nggak kasihan apa sama abang lo? Gue udah kebelet banget ini. Buruan! Kita balik duluan," kata Dika.
"Aku boleh ikut, nggak? Biar nanti Mas Sena, Mas Jan, sama Abang Kara pulangnya bertiga juga," kata Sapta sambil bersiap memakai sandalnya.
"Kamu beneran nggak mau bareng sama Mas?" tanya Jantera.
Sapta menggeleng. "Aku ikut Mas Dika aja. Udaranya udah mulai dingin. Nggak pa-pa kan, Mas?" tanya Sapta dengan ragu pada Jantera.
Namun, tanpa disangka, Jantera malah mengusak rambut Sapta hingga sedikit berantakan. "Iya, nggak pa-pa. Ikut Mas Dika aja. Kamu benar, Dek. Nanti napas kamu sesak. Udah, sana pulang! Biar Mas sama Abang nungguin Mas Sena disini," kata Jantera.
Mendengar itu, Sapta pun langsung menghampiri Dika dan Sena yang sudah berada di atas motor. Posisi mereka Dika berada di paling depan yang akan mengemudikan motor, Sapta di tengah, dan Sena yang berada paling belakang.
"Mas, gue balik dulu! Ntar ini motor dibawa lagi sama Sena!" seru Dika.
"Hati-hati! Yang bener lu bawa motornya!" seru Jantera.
"Abang, aku pulang duluan! Abang nanti nyusul, ya!" seru Sapta pada Kara seraya melambaikan tangannya. Kara pun hanya bisa tertawa kecil, lalu membalas lambaian tangan adik satu-satunya itu.
Sesaat setelah berpamitan pada Jantera dan Kara, Dika pun mulai melajukan motornya.
●○•♡•○●
Di tengah-tengah hamparan sawah, dan dibawah megahnya langit sore yang berwarna kemerah-merahan, Dika mengendarai motornya dengan kecepatan sedang. Meski pun ia dalam keadaan darurat, namun ia tidak ingin menambah keadaan menjadi lebih darurat;
Tercebur ke sawah lagi, misalnya.
"Ta, kamu inget nggak mi goreng yang Mas bawain malam itu?" tanya Dika di tengah-tengah perjalanan mereka.
Sapta berpikir sejenak. "Yang Mas Dika, Mas Jan, sama Mas Sena penuh lumpur bukan?" tanyanya.
Dika mengangguk. "Iya. Kamu tahu, nggak? Tuh, di pos ronda depan sana, Mas, Mas Jan, sama Mas Sena kecebur ke sawah. Mana di depan bapak-bapak yang lagi main catur, lagi," tutur Dika seraya menunjuk pos ronda yang berjarak sekitar seratus meter dari tempat mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
IN THE END
Teen FictionSetiap orang, pasti memiliki 'rumah'. Sayangnya, ada beberapa 'rumah' yang terpaksa harus berdiri tanpa atap dan penyangga. Semakin dewasa, menjadikan jiwa tujuh bersaudara ini luluh lantak. Kepergian kedua orang tua mereka, membuat mereka harus be...