13. Sebuah Jawaban

1K 126 9
                                    

SELAMAT MEMBACA ❤

---------------------

"Mungkinkah, mungkinkah, mungkinkah

Kau mampir hari ini

Bila tidak mirip kau

Jadilah bunga matahari."

(Sal Priadi - Gala Bunga Matahari)

●○•♡•○●

•• perihal tanya yang tak pernah terjawab, masih terus ku usahakan. meski harus bertaruh pada jiwa dan raga, aku masih tetap memperjuangkannya. sebab, hanya dengan satu jawaban pasti, hidupku tidak akan serumit ini ••

Sapta menghela napas berat, sebelum akhirnya ia bertanya, "Mas, kalau Mas nggak tahu Bapak dimana, apa Mas tahu Ibu ada dimana?"

Mendengar pertanyaan dari Sapta, Mas Abi sedikit tersentak. Mas Abi melirik sekilas ke arah Mas Raga untuk meminta persetujuan. Mas Raga pun mengangguk tanpa ragu, seraya merangkul Sapta. "Bilang aja, Mas."

Mas Abi pun menghela napas berat, sebelum akhirnya berkata, "Dek, Ibu sebenarnya udah nggak ada."

15 tahun yang lalu...

Tangisan menggema dari sebuah rumah sederhana. Tangisan seorang bayi yang baru saja terlahir ke dunia, bersahutan dengan tangisan orang-orang yang ditinggalkan oleh seseorang yang meninggalkan dunia. Mas Abi kecil, saat itu hanya bisa menangis sambil terus memeluk Jantera. Jantera menangis hebat, ketika mengetahui bahwa disaat adiknya terlahir ke dunia, disaat itu pula ibunya tiada untuk selamanya.

Kara yang saat itu baru berusia 2 tahun, hanya bisa menangis sambil terus di timang-timang oleh Mas Raga. Kara dan Sapta, tidak tahu apa yang sebenarnya tengah terjadi. Sena menangis dalam pelukan Dika. Tidak pernah terpikirkan sama sekali jika kehadiran, harus berhadapan juga dengan kematian.

"Kenapa ibu pergi, Mas?" tanya Jantera di sela-sela tangisnya. Perasaan pilu begitu mendominasi sebuah ruangan yang hanya sepetak itu.

Mas Abi menggeleng. "Emang udah takdirnya, Jan," balas Mas Abi singkat. Jawaban paling masuk akal dari seorang anak berusia 15 tahun.

Memangnya, Mas Abi harus bereaksi seperti apa lagi?

"Aku benci bayi itu, Mas. Gara-gara dia, Ibu meninggal," kata Mas Jan.

Mas Abi menggeleng seraya meremat pundak Jantera, lalu menatapnya dalam. "Dia adik kamu, Jan! Dia nggak berhak dapat kebencian karena ini semua!" tegas Mas Abi.

"Tapi, gara-gara dia, kita semua jadi nggak punya Ibu, Mas! Sampe kapan pun, aku nggak akan pernah nganggap dia adik aku!" kata Jantera sambil terus meronta, lalu berlari ke kamar.

Mas Abi hanya bisa menangis sambil di tenangkan oleh Mas Raga, yang di tangan kanannya tengah menggendong Kara yang sudah tertidur.

"Mas harus gimana, Ga? Mas takut Jantera benar-benar benci sama Sapta," isak Mas Abi.

"Kita nggak bisa maksa Jantera, Mas. Kalau pun emang nanti Jantera tumbuh dengan penuh kebencian buat Sapta, kita sebagai kakak tertua yang bakal melindungi Sapta, dan menyadarkan Jantera, Mas. Kita nggak boleh memihak salah satu dari adik kita," tutur Mas Raga.

IN THE ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang