05. Keluarga Kenan

26 5 0
                                    

Sesuai janji Kenan, pagi ini dia jemput gue di rumah. Sebenernya, waktu dia ngobrol lagi sama orang tua gue, kita sempet nyerempet ngomongin soal pernikahan lagi.

Orang tua gue kayanya sama-sama ngebet pengen Kenan cepet-cepet nikahin gue. Fix, mereka beneran pengen gue pergi lagi dari rumah ini kali ya? Tapi, dari cara Kenan yang memperlakukan orang tua gue dengan sangat sopan, gue rasa dia emang jago banget ngambil hati orang lain, termasuk orang tua gue. Apa lagi, begitu Kenan ceritain soal bisnis restoran dan acara-acara TV dia, Bapak keliatan semakin bangga sama calon menantunya ini. Kayanya calon menantunya lebih membanggakan daripada anaknya sendiri yang gak pernah punya pencapaian apa-apa.

"Heh, jangan bengong."

Gue tersadar dari lamunan gue ketika Kenan nyubit pipi gue lagi. Ah, kita kejebak macet lagi.

"Aku tuh khawatir banget kalau kamu udah diem aja sambil melamun kaya tadi, tahu? Nanti tiba-tiba kamu kerasukan lagi kan bahaya," celoteh Kenan seketika membuat gue ketawa miris. Yang dia khawatirin malah soal kesurupan gue. Iya, sih bener. Gue juga gak sadar dari tadi melamun gini.

"Mikirin apa? Gugup ya, mau ketemu sama keluarga aku?" tanya Kenan sambil meraih satu tangan gue dan menggenggamnya. Sementara satu tangan dia masih memegangi stir mobil.

"Aku iri sama kamu," jawab gue dengan suara pelan.

"Iri?"

"Tadi ... Bapak keliatannya bangga banget sama kamu."

"Masa sih? Bagus dong, Kikan."

"Tapi Bapak gak pernah sebangga itu sama aku. Dari awal, Bapak sebenernya mau anak laki-laki, tapi yang dilahirin Mama malah perempuan. Udah gitu punya kemampuan yang di luar akal sehat. Walaupun mereka terima aja, aku yakin mereka juga pengen anaknya bikin sesuatu yang bisa mereka banggain ke orang-orang. Anaknya juara satu, juara umum, sukses di karir ..." Gue menggantungkan kalimat gue dan menghela napas panjang.

"... Tapi aku selalu bikin masalah di mana-mana. Coba aja di kampus itu aku gak bikin masalah, mungkin aku masih bisa bikin sesuatu yang membanggakan mereka," imbuh gue ketawa geli mengingat betapa konyolnya masalah yang gue timbulin sampe dikeluarin dari kampus.

"Kamu mau daftar di kampus lain? Nanti aku cariin -"

"Gak usah, Chef. Mau daftar di kampus mana pun, pasti sama aja. Karena masalahnya itu di aku, bukan kampusnya," jawab gue sambil melemparkan pandangan keluar jendela mobil. Dan saat itu juga gue tersentak kaget sampe menjauhkan kepala gue menjauh dari kaca mobil.

"Ki, kenapa?" tanya Kenan yang kayanya liat reaksi kaget gue tadi.

"Itu ... Ada kuntilanak di atap mobil di sebelah kita."

Gue membuang wajah gue dari kaca mobil ke arah Kenan yang tiba-tiba kelihatan kaku dan gelisah.

"Ku-kuntilanak? Ini kan masih pagi, Kikan," tanya Kenan lurus menatap ke depan, kayanya dia juga gak berani menoleh ke arah gue.

"Gak tau, Chef ... Lagian siapa yang bilang hantu cuma ada malem?" ujar gue pelan.

"Mana dia tau aku sempet liat ke dia," bisik gue menyesali yang barusan terjadi.

"Ya ampun, ini macetnya gak selesai-selesai, sih!" gerutu Kenan sambil menekan klakson mobil. Dan gue menyadari kalau Kenan ternyata ikutan takut. Dia pasti mau buru-buru tancap gas biar gak sejajar lagi sama mobil yang ada hantunya itu.

Perlahan, gue menggerakkan jari gue ke arah leher Kenan sampe dia memekik kaget dan gue tertawa pelan.

"Ini tangan aku," ucap gue sehingga Kenan menghela napas lega dan langsung menangkap tangan gue yang sekarang ada di pipinya.

I'M WITH YOU (Sequel Thank You Chef)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang