24. Dewi

20 1 0
                                    

Akhirnya Kenan membawa gue pulang ke rumah, dia segera membuka laptopnya di kamar dan terlihat mencari-cari sesuatu. Gue cuma diem sambil merhatiin Kenan. Sejujurnya gue belum berani nanya ke Kenan apa dia bener-bener kenal hantu perempuan ini.

"Ki ..."

"Ya?"

"Ini ... Dewi."

Gue segera menghampiri Kenan yang duduk di pinggir tempat tidur. Dia mengarahkan layar laptopnya ke arah gue, menunjukkan beberapa foto seorang gadis remaja berwajah pucat yang mirip sama hantu perempuan itu. Bedanya, di foto ini, dia keliatan rapi dan tersenyum.

"Jadi, kamu bener-bener kenal dia?"

Kenan menganggukkan kepala, dia menggeser foto demi foto yang memperlihatkan beberapa anak bersama dia. Di sini juga gue liat Laras.

"Dewi itu ... Temennya Laras waktu SMA."

Oh, iya. Laras kan beda sekolah sama gue. Boro-boro gue tahu temennya, sama Laras aja baru kenal setelah dia meninggal.

"Terus? Apa hubungannya sama kamu?" tanya gue.

Kenan terlihat menghela napas panjang, dan mengalihkan laptopnya ke pangkuan gue.

"Sebenernya Dewi sama Laras itu udah temenan dari SD. Aku inget Laras pernah bilang kalau Kinan satu-satunya orang yang percaya dia bisa liat hantu. Dia juga yang selalu belain Laras kalau lagi diledek temen-temen sekolahnya. Aku juga gak tahu tepatnya kapan, tapi ..." Kenan terdiam, dia kaya lagi berusaha mengingat-ingat sesuatu.

"Aku pernah diminta Laras untuk ketemu sama Kinan. Katanya Dewi divonis kena kanker darah. Dan ..." Kenan menghentikan kalimatnya lagi. Dia memijat keningnya dan menghela napas lagi.

"Tenang, Chef ... Jangan dipaksa," ucap gue sambil meraih tangan Kenan dan menepuk-nepuk bahunya pelan.

"Aku yang salah, Kikan."

"Maksudnya?"

"Laras minta aku untuk semangatin Dewi. Laras emang bilang kalau Dewi itu suka sama aku, tapi aku pikir itu cuma perasaan anak-anak aja. Jadi ... Aku gak terlalu menganggapnya serius. Aku bilang sama Dewi, kalau dia sembuh, aku akan ajak dia ke bioskop."

"Chef, kamu gak salah. Kamu cuma berusaha untuk menghibur dia aja, kan?" balas gue.

"Iya, aku emang berusaha menghibur dia. Masalahnya, aku bilang begitu, di saat aku dan bahkan dia sendiri pun tahu, kalau penyakitnya gak akan sembuh, Kikan. Aku rasa dia ... Kepikiran soal itu." Kenan kembali menaruh pandangannya ke layar laptop.

Gue curiga, jangan-jangan Dewi beneran suka banget sama Kenan. Makanya dia ngikutin Kenan terus sampe sekarang.

"Dia di sini gak sekarang?" bisik Kenan pelan.

Gue mengedarkan pandangan gue ke sekitar. Gue baru sadar, kalau dari tadi gue gak liat Dewi lagi.

"Enggak ada, Chef."

Kenan menghembuskan napas panjang, kemudian dia menutup laptopnya. Dia keliatan lagi mikirin sesuatu yang gue sendiri gak tahu apa.

"Aku lagi ikut ujian di salah satu hotel untuk jadi Executive Chef, waktu Laras bilang Dewi kolaps. Dia berulang kali minta tolong aku untuk dateng ke rumah sakit."

"Chef ... Dateng?" tanya gue. Tapi Kenan menggelengkan kepalanya pelan, raut wajahnya keliatan putus asa.

"Aku tahu, waktu itu aku egois. Aku cuma berpikir kalau aku harus berhenti ikutin permainan Laras. Gimana pun, Dewi bukan tanggung jawab aku. Sedangkan ujian itu menentukan karir aku. Jadi ... Mungkin Dewi marah karena itu," ucap Kenan pelan. Gue pikir, dia akan marah-marah sama Dewi karena udah bikin kekacauan di restorannya sampe melukai dua karyawannya. Ternyata, Kenan malah keliatan ngerasa bersalah dan memaklumi apa yang Dewi buat.

I'M WITH YOU (Sequel Thank You Chef)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang