30. Paketnya Kikan

18 2 0
                                    

Jam 06:00 pagi. Kenan dan gue menghamparkan tikar di atas rumput taman. Matahari pagi mulai keliatan, tapi sekitar sini masih sepi. Cuma ada beberapa orang jogging, duduk-duduk sambil selfie, ada yang duduk di atas karpet sementara suaminya tiduran sambil nyenderin kepalanya di atas paha istrinya - iya itu gue sama Kenan.

Gue menahan senyum liat Kenan yang berbaring telentang dengan kepalanya yang menyender di paha gue. Kedua matanya terpejam sementara tangannya menggenggam satu tangan gue.

"Chef ... Emangnya gak apa-apa kita kaya gini?"

"Gak apa-apa, Kikan. Mereka gak akan ngusir kita, kecuali kita ngelakuin hal gak senonoh di sini," jawab Kenan dengan tenang, sementara matanya masih terpejam.

"Bukan gitu, maksudnya kalau ada orang yang kenal kamu dan liat begini?"

"Orang yang kenal aku gak akan ada di sini, Kikan. Terutama waktu weekdays. Mereka gak akan ada waktu juga. Kamu keberatan aku nyender di kaki kamu yang gak sakit itu?"

"Ya ampun, suami aku dendaman banget," gerutu gue sambil mencubit pipi Kenan dengan satu tangan gue yang satunya lagi. Tapi Kenan malah ketawa lagi.

"Chef ..."

"Hmm?"

"Kenapa sih, kamu kemarin kesannya kaya gak suka gitu Raka di rumah kita? Aku tahu kamu gak suka anak-anak karena mereka berisik dan gak mau diem. Tapi kan, Raka beda. Malah, menurut aku ... Dia lebih pendiam dari anak laki-laki seusia dia kebanyakan."

Kenan menghela napas panjang, jarinya masih mengelus-elus punggung tangan gue yang digenggam dia.

"Dari Raka kecil, Tante Sarah itu selalu aja nitipin Raka. Ke babysitter, ke saudaranya, bahkan ke tetangganya juga pernah. Aku masih ngerasa biasa aja. Sampe suatu hari ..." Kenan menggantungkan kalimatnya sebentar, terus dia kembali melanjutkan.

"... Aku ditelepon sama tetangga yang dititipinnya, kalau Raka hilang. Seharian penuh aku nyariin Raka, sampe akhirnya ketemu anak itu main sendirian di gudang rumahnya. Sementara ibunya pergi cuma untuk arisan bulanan sama temen-temennya. Terus aku sadar, kalau aku selalu terima dititipin Raka, ibunya akan anggap enteng untuk ninggalin Raka," cerita Kenan.

"Raka udah gak pake pengasuh ya, Chef?" tanya gue.

"Enggak. Raka sering ganti pengasuh. Makanya, semalem aku agak marah sama ibunya karena sebenernya ... Aku tahu dia lagi hang out di salah satu kafe sama temen-temennya," jawab Kenan membuat gue terperangah kaget. Maksudnya Tante Sarah bohongin gue?! Dia bilang harus nemenin temennya yang lagi berduka. Apa nemeninnya di kafe?

"Mu-mungkin nemenin temennya yang berduka itu di kafe, Chef?"

"Berduka apanya. Jelas-jelas mereka abis datengin acara lelang."

Wah, gila. Kok Tante Sarah bisa setega itu sih sama anaknya sendiri? Pantes aja Raka jadi anak yang pendiem dan terkesan kurang aktif. Jangan-jangan anaknya yang kerja di luar negeri itu gak pulang-pulang juga karena ada masalah, ya?

"Kasian Raka ..."

"Itu alasannya, Ki. Sebelum kita punya anak, kamu capai dulu apa yang kamu mau. Puas-puasin jalan sama temen-temen kamu. Aku gak mau ... Anak kita kaya Raka."

"Chef ... Aku tahu kamu sebagai laki-laki pasti bicara berdasarkan fakta apa yang kamu liat. Tapi aku sebagai perempuan yang punya hati selembut tissue bayi ..."

"Mulai deh," protes Kenan mulai tertawa. Padahal, gue lagi serius.

"Aku serius, deh. Intinya aku gak perlu puas-puasin jalan kesana - kemari sebelum punya anak. Karena kalau pun aku punya anak, aku masih bisa lakuin itu kok ... Cuma emang agak lebih ribet aja. Tapi kamu harus tahu, aku pasti akan selalu memprioritaskan anak kita nanti," jawab gue penuh dengan keyakinan.

I'M WITH YOU (Sequel Thank You Chef)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang