Entah sejak kapan, wajah Ciko begitu dekat. Caca tidak berkedip menatap bola matanya yang begitu indah. Ini pertama kalinya.
Caca menahan nafas saat bibir Ciko hinggap di bibirnya. Caca tidak terpejam, dia menatap kedua mata Ciko yang tertutup. Bulu matanya panjang dan lentik. Indah sekali.
Jemari Caca meremas setiap sisi pinggang kaos santai yang dipakai Ciko. Merasakan bibirnya disapu lembut, kepala Ciko bergerak kadang ke kiri, ke kanan.
Caca semakin meremas kaosnya, melirik telinga Ciko yang memerah. Entah kenapa, dia sulit mendorongnya menjauh.
Ciumannya terasa enak walau kian membuatnya sesak. Nafasnya menipis. Caca terpejam lalu terbuka lagi saat Ciko menjauh.
Caca melahap rakus udara, Ciko pun begitu. Keduanya saling menatap, bibir Ciko perlahan naik membentuk senyuman tipis.
Caca melirik bibir basah Ciko lalu naik ke kedua matanya yang tajam namun menyejukan, penuh kasih sayang.
Ciko menyelipkan rambut kecil Caca ke telinganya, mengusap sekilas pipi yang memerah itu.
"Aku pulang," bisiknya lalu tersenyum tipis dan beranjak.
Caca hanya diam, menatap kepergian Ciko dengan perasaan tak rela ditinggal sendiri? Serius? Caca menggelengkan kepalanya, sepertinya dia sudah gila.
Diakan musuh kakaknya. Belum bisa diyakini baik.
Caca menyentuh bibirnya, rasa ciumannya terus terasa. Membuat jantungnya berdebar. "Caca udah gila kayaknya." gumamnya lesu.
***
Ciko tersenyum tipis. Menatap perjalanan malam yang terasa indah. Caca tidak menolak ciumannya.
Jantung Ciko menari-nari bahagia dibuatnya. Udara terasa lembut menerpa wajahnya.
Ponsel berdering membuyarkan bayangan ciuman yang beberapa saat lalu terjadi.
Ternyata orang suruhannya. Apa sudah ada kabar pasti tentang benar tidaknya perempuan itu mengandung anak Nolan.
Ciko terlihat serius, auranya jika sedang serius memang tidak main-main.
Di tempat Nolan dan Adhya. Keduanya tengah duduk berpelukan. Lebih tepatnya Nolan memeluk Adhya sangat erat.
"Percayakan, sugar?" bisik Nolan setelah menjelaskan hubungannya dengan Namira yang hanya sebatas kenalan di club.
Untuk saat ini belum.
"Engga."
Nolan terpejam sekilas, mengurai pelukannya. "Ga ada gitu ucapan nenangin, gue juga kaget, seneng sama sedih, lo hamil tapi astaga.." Nolan mengusap perut Adhya lalu mengecup lehernya.
Adhya memilih diam. Dia masih merasa percaya tidak percaya dengan isi di rahimnya kini.
"Jangan kabur. Gue usahain cepet selesai," yakin Nolan sambil meraih dagu Adhya agar menatapnya tepat di kedua matanya. "Dengerin ga?" tanyanya agak sedikit kesal.
"Ha?" sahut Adhya terlihat masih dialam kagetnya.
"Astaga.. Sabar." gumam Nolan dan memilih memeluk Adhya. "Jangan pikirin Naura, eh siapa Namira.."
"Ga. Gue ga mikir soal itu, Nolan. Tapi ini," Adhya mengusap perut bawahnya. "Serius hamil?" lirihnya.
Adhya sedang mengingat, apa ada perubahan yang dia rasakan? Apa ya?
"Jadi, ga mikirin Namira?" Nolan mengurai pelukannya. Menatap wajah datar Adhya yang terlihat masih bingung itu.
"Engga. Itu urusan lo, nunggu kabar baiknya aja. Semoga bener, kalau pun iya. Terus gimana? Gue hamil juga." santainya.