Dengan lucunya, dengan patuhnya Caca mengikuti Ciko ke perusahaan tempat dulu dia bekerja.
Caca mencari keberadaan rekan kerjanya namun sepertinya mereka sibuk, tidak terlihat di sekitarnya.
"Perhatiin jalannya." tegur Ciko pelan.
Caca pun berhenti celingukan dan fokus pada jalan.
Dia jadi rindu kerja, setiap harinya sibuk membenarkan data, menyalin dan memfotocopynya. Pokoknya seru walau melelahkan.
"Seneng banget bisa datang ke sini." celetuk Caca setelah sampai di ruangan Ciko. "Kangen kerja jadinya." lanjutnya lalu duduk di sofa.
Ciko memilih melepas jas dan segera ke kursi kebesarannya. Dia tidak bisa berduaan jika pekerjaan belum selesai.
"Ga boleh. Aku aja yang kerja." balas Ciko sekenanya lalu membuka berkas-berkas itu dengan serius.
"Iya. Nanti makan siang di kantin perusahaan ya, kak Ciko?" pintanya.
"Ok." singkat Ciko dengan masih membuka lembar demi lembar kertasnya.
Caca pun tersenyum, menatap ruangan Ciko dengan tertarik. Dia bisa mengamati semuanya dengan baik sekarang.
Caca beranjak mendekati satu lukisan yang menarik perhatiannya. "Ini lukisan terkenal, harganya pasti mahal." yakinnya.
"1M."
Caca menganga, menarik jemarinya yang mengusap lukisan itu. Tidak berbentuk walau samar terlibat ada alam di dalamnya.
Caca tidak berani menyentuhnya lagi. Bagaimana bisa lukisan jadi semahal itu. Memang ya, seni agak lain.
Caca melihat lukisan lain dengan penasaran. "Kalau ini berapa?" tanyanya sambil menoleh pada Ciko.
Ciko melirik sekilas. "100jt." jawabnya.
"Wahh.." gumam Caca menggeleng tak percaya. Lebih baik dia simpan uangnya.
"Kalau yang itu?" tunjuk Caca sambil mengayunkan langkah mendekatinya.
"150jt." Ciko menutup satu berkas yang sudah dia bedah, lalu ke berkas lainnya.
"Ih ngeri." Caca mengusap lengannya lalu memilih duduk. Dia ingin menanyakan harga guci mewah itu tapi urung, pasti mahal juga.
"Apa ga sayang uangnya?" tanya Caca.
"Bukan sombong, tapi emang rasanya bingung kalau pegang uang besar, bingung habisinnya." santai Ciko tanpa menatap lawan bicaranya.
***
"Gini amat ya kalau dua-duanya pengangguran, di kamar, di mana-mana," Adhya menyamping menghadap Nolan yang terlentang.
Nolan tertawa pelan.
"Enak sih, terus ketemu tiap saat, ga khawatir tapi bosen juga lama-lama kalau gini," keluh Adhya agak merengek.
"Jadi maunya apa?" Nolan membalik tubuhnya menjadi menyamping menatap Adhya lebih jelas.
"Keluar, katanya mau lihat semua kontrakan," Adhya mengusap jakun Nolan.
"Hm, nanti diatur dulu. Terkhusus di pedesaan, siapin dulu tempat nginepnya," Nolan usap sisi wajah Adhya, mengusap kepalanya lembut.
"Ga bisa ya langsung sekarang gitu? Udah ga kuat bosennya," Adhya merapat, ndusel di leher Nolan.
Manjanya Adhya.
Nolan usap-usap punggungnya. "Ga bisa, ga lama kok kita urusnya. Aku urus dulu," balasnya.
"Hm, pokoknya harus secepatnya!" Adhya mendongak.
"Bayarannya mana?" Nolan memanyunkan bibirnya.
Dan Adhya segera mengecup pipinya.