Caca termenung sendirian, televisi di depannya dia abaikan. Dia sedang mengingat kejadian demi kejadian dengan Ciko.
Terakhir kemarin di saat dia sedang mandi. Ciko tidak melakukan hal yang melewati batas, mungkin ingat dia sedang hamil muda makanya berhenti.
Tapi tetap saja, tubuhnya dikecup sampai ke ujung kaki. Dengan bodohnya dia diam dikelabui hormon.
Tubuhnya menginginkan itu walau pikiran berteriak untuk membuatnya berhenti.
Caca merasakan debaran aneh. Apalagi saat Ciko kembali mengucapkan bahwa hanya 3 bulan, beri dia waktu agar Caca membalas perasaannya.
"Aku janji, aku akan selalu ada, setia, sampai akhir. Kamu ga akan sendirian, selama aku hidup."
Caca tersenyum tipis mengingatnya. Perasaan menghangat. Dia merasa tidak sendirian lagi. Mungkin itu alasannya dia merasa lumayan senang dengan tawaran Ciko.
Senyum Caca luntur, dia merasa mual lagi. Untungnya muntahnya tidak terlalu dahsyat. Mungkin tertolong oleh obat juga.
***
Adit mendekati Azura. Wajah Azura terlihat marah. Seharian ini Adit memang berada diluar, memastikan keadaan Caca.
Caca terlihat kurus, mungkin karena mual muntah yang wajar terjadi saat kehamilan.
"Apa kamu ga bisa liat ponsel?" amuk Azura dengan berkilat cemas.
Azura sungguh takut ditinggal, dia jadi tidak tenang jika tidak mendapat kabar dari Adit. Dia merasa Adit akan pergi darinya.
"Ponsel aku di tas, ga kedengeran mungkin," Adit tersenyum mendekat, mencoba menenangkan Azura.
"Dari mana? Aku ga suka kamu lama diluar! Aku tahu kamu udah selesai jam 2 siang, kenapa jam 5 sore baru pulang?" Azura tetap terlihat marah hampir menangis.
Adit menggenggam dua jemari bergetar Azura. Mengusapnya. Dia salah, harusnya bilang sejujurnya. Tapi, Azura beberapa hari ini terlalu cemas.
Pikirannya dipenuhi hal-hal negatif sampai Adit harus izin pada Nolan karena tidak bisa turun kelapangan hari itu.
Adit tak tahu apa yang membuat Azura kambuh. Padahal dia sudah 24 jam bersama.
"Ke tempat, Caca." jawab Adit jujur.
"Harusnya kamu bilang!"
"Kamu selalu mohon buat aku tinggal, aku cuma mau liat Caca, adikku lagi hamil, Ra." Adit ingin Azura tidak terlalu berpikiran buruk.
"Aku butuh kamu! Apa kamu mulai muak? Harusnya kamu utamain aku! Aku takut kamu pergi, aku sakit! Aku kayak mau mati kalau sendirian, Caca sehat—"
"Apa aku salah mikirin Caca?" Adit terlihat tersulut. Mungkin saking kacau perasaan dan pikirannya.
Di tambah Azura terlalu parah kambuhnya beberapa hari ini. Adit akan membawa Azura ke dokter yang menanganinya selama ini.
"Ga gitu, Dit." Azura terisak pelan.
"Kamu sekarang jadi marah saat aku urus, Caca! Kamu egois, Ra. Ga mau tahu, aku mau kamu berobat lagi, kamu beberapa hari ini parah! Pikiran kamu terlalu buruk. Padahal aku udah yakin 100% ga akan tinggalin kamu, tapi kamu ga percaya itu!"
Adit beranjak, mendial nomor dokter Azura. Dia takut Azura semakin tak terkendali.
"Aku ga gila! Apa kamu mau aku di kurung di sana lagi? Kamu mau ninggalin aku dengan cara—"
"Aku mau kamu sembuh!" potong Adit menelan kekesalannya. Adit maupun Azura sama menjatuhkan air mata.
"Aku cinta kamu, Ra. Tapi aku butuh bantuan biar kamu sepenuhnya sembuh, aku takut memperparah keadaan kamu, kali ini nurut sama aku. Kamu bukan gila, kamu cuma hilang arah, kamu tersesat di pikiran kamu sendiri, dokter akan bantu kamu sembuh, aku ga akan tinggalin kamu, kamu harus percaya itu."