Miracle

149 12 0
                                    




Garis lurus di layar monitor kecil itu bergerak membentuk gunung tajam berulang. Bisik gaduh mengisi ruang gawat darurat.

Wanita-wanita berbaju putih dengan sigap melepas masker oksigen gadis kecil yang terlonjak mengais udara dengan manik coklat membola.

"Ia tersedak!" Seorang perawat menopang punggung tubuh kecil yang terduduk.

"Tidak mungkin......." Ucapan itu meluncur hampir bersamaan pada dua sisi yang berbeda.
Seokjin menyeret langkahnya memasuki ruangan penuh haru itu ragu.

"Detak jantung stabil, pupil bergerak dengan normal"
"Kau ingat namamu, gadis kecil?" Pria paruh baya berjubah putih itu mendorong kacamata tebalnya saat mendekatkan kepala dengan raut wajah bingung.

"Tentu saja, dokter"
"Aku Kim Jiwon, puteri kesayangan Kim Geurim" Gadis kecil bersurai ikal itu tertawa pelan.

"Keajaiban......ini keajaiban...." Wanita yang masih berada dalam rengkuhan sang suami pun kembali terisak kemudian memeluk sang buah hatinya erat-erat.

"Tidak mungkin......" Namjoon mengulang kalimatnya.
"Teman.....apa yang telah kau lakukan disana?"




"Memikirkan apa?" Tubuh mungil yang tak lagi berseragam itu mendudukkan dirinya pada sebuah bangku berwarna biru muda.

Seokjin menggeleng dengan sebuah senyum tipis yang dipaksakan. "Kau sudah selesai?"

Jimin pun mengangguk menyeruput cokelat hangatnya. Wajahnya terlihat lelah.
"Kau sudah akan pulang?" Ia melirik pada piring kosong yang menganggur berseberangan dengannya.

"Iya....." Seokjin memasukkan ponsel lipatnya ke dalam tas.

"Jimin....." Sejenak kemudian gerakan tangannya berhenti.

"Aku tahu, Seokjin...." Pria itu mengusap keningnya bersamaan dengan hela nafas panjang.
"Kau pasti memikirkan apa yang kupikirkan"

"Bisakah seseorang dengan kanker darah sembuh sesempurna itu?" Seokjin meremas gulungan tissue dengan sepasang telunjuk dan ibu jarinya.

Jimin menggeleng. Mata kecilnya menatap kosong pada gelas tinggi berisi separuh minuman cokelat dingin di atas meja. Memperhatikan bulir air satu persatu mulai bergulir menjadi lelehan uap es batu yang mulai mencair.

"Dokter Choi adalah senior di rumah sakit ini..."
"Diagnosanya tidak mungkin salah, Seokjin"

"Gadis beruntung itu seharusnya sudah tak bernyawa saat ini"


Seokjin kembali menenggelamkan kepala penatnya. Mengusir suara-suara kendaraan yang masih saja berlalu lalang di bawah apartemen kecilnya. Menulikan telinga dari makian pasangan suami istri yang selalu bertikai pada jam orang-orang seharusnya beristirahat.
Dan berusaha melupakan untaian kalimat yang tetap terngiang dari sahabatnya beberapa jam lalu.

"Apakah keajaiban itu benar-benar ada?"

Ia mengingat diri kecilnya menangis memukul-mukul kaki gemuk sang nenek saat beliau menghembuskan nafas terakhirnya di atas tempat tidur kayu.
Ia mengingat kedua orangtuanya yang saling melukai hingga akhirnya berpisah setelah menyerahkan tanggung jawab mereka sepenuhnya pada sosok remaja yang masih beranjak dewasa dalam sepucuk surat di atas meja makan kosong.
Ia mengingat perjumpaan manis dengan seorang yang menjadi kekasihnya, dan perpisahan pahit saat sang kekasih hanya menjadikan dirinya sebagai pilihan yang ke-dua.

Sudut bibir tebal itu perlahan berkeluk turun.

"Jangan diteruskan..."

"Bangkitlah kembali seperti saat kau merelakan nenek"
"Berjalan tegaplah kembali seperti saat kedua orangtuamu berkhianat"
"Tersenyumlah kembali seperti saat kau berusaha melupakan patah hatimu...."

FateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang